Selasa, 07 Februari 2017

Masa Depan Gerakan Mahasiswa


Membicarakan peran dan fungsi gerakan mahasiswa dari masa ke masa nampaknya menjadi topik menarik untuk terus diungkapkan. Setiap momentum perubahan yang terjadi di
negeri ini, tidak memasukkan peran serta Gerakan Mahasiswa sebagai bagian pendorong perubahan adalah menjadi sangat  tidak beralasan, sebut saja perubahan periodesasi politik dari orde lama ke orde baru dan selanjutnya era reformasi sekarang ini menjadi bukti bahwa Gerakan Mahasiswa memiliki andil cukup besar menggulirkan ide – ide perubahan yang bersendikan kekuatan idealismenya. Pertanyaan selanjutnya bagaimana peran Gerakan Mahasiswa ditengah dominasi arus pragmatis saat ini?Hasil gambar untuk gerakan mahasiswa 1998
Mahasiswa dan formasi sosial
Secara umum dalam struktur masyarakat mahasiswa sebenarnya belum mempunyai posisi yang begitu mapan. Keidentikan dengan sebuah profesi tertentu apakah sebagai pedagang, petani, pengusaha atau elit penguasa nampaknya tidak ada yang pas di berikan kepada mahasiswa. Namun sisi lainnya mereka sesungguhnya lahir dari berbagai profesi dalam struktur masyarakat dikarenakan latar belakang keluarga, selanjutnya pasca mahasiswa mereka inilah juga yang akan melakukan transformasi dalam berbagai posisi dalam struktur masyarakat, sehingga wajah masyarakat secara sederhana akan sangat berpengaruh dari sejauh mana kondisi mahasiswa melakukan proses gerakannya ditengah berbagai tantangan yang ada.
Sebutan mahasiswa biasanya ditujukan bagi seseorang yang sedang melalui jenjang pendidikan formal diperguruan tinggi, dimana jenjang – jenjang ini memiliki keterbatasan waktu sesuai dengan system yang berlaku diperguruan tinggi masing – masing. Kondisi ini pulalah yang mempengaruhi bahwa status mahasiswa seseorang memiliki keterbatasan waktu. Mahasiswa yang masuk diperguruan tinggi pun memiliki latar belakang yang sangat beragam, dominasi dari keberagaman latar belakang mahasiswa biasanya dari masa kemasa selalu berubah tergantung dari perkembangan dalam tata kehidupan masyarakat. 
Pada awalnya latar belakang mahasiswa lebih banyak didominasi dari masyarakat agraris dimana sebagian besar berprofesi sebagai petani, motivasi mereka terhadap anaknya ketika melalui jenjang perguruan tinggi agar kelak memiliki kepandaian lebih baik dari keluarga, disamping itu tradisi keagamaan akibat pengaruh pesantren juga sangat kental berlaku didalam keluarga, kondisi ini juga mempengaruhi terbentuknya keberpihakan idiologis terhadap penderitaan dan kesusahan masyarakat begitu menguat tertanam dalam diri mahasiswa, periode ini terjadi pada awal – awal kemerdekaan sampai tahun 60-an. 
Masa selanjutnya ketika orde baru berkuasa dengan jargon pembangunannya mulailah terjadi industrialisasi, pabrik – pabrik berskala besar mulai berdiri, ini berakibat begitu besar terjadinya urbanisasi dimana perpindahan masyarakat desa kekota mulai marak dengan alasan demi memperbaiki nasib. Latar belakang mahasiswa memasuki era ini pun didominasi oleh masyarakat yang telah terintegrasi dalam proses industrialisasi, dimana profesi keluarga lebih banyak sebagai karyawan beberapa perusahaan dan birokrat. Tema – tema umum pada masa ini lebih banyak berbicara seputar keadilan sosial akibat terjadinya ketimpangan dalam masyarakat akibat industrialisasi. Periode ini berlangsung sampai pertengahan 90-an.
Meluasnya perkembangan liberalisasi diberbagai belahan dunia akibat menguatnya paham kapitalisme global memberikan efek terhadap pesatnya kemajuan informasi diberbagai Negara. Akses informasi ini meyebabkan sekat antara kawasan menjadi hilang, kehidupan masyarakat berada ditengah perubahan yang begitu cepat dan transformasi nilai dalam bentuk produksi hiburan tidak dapat dielakkan lagi ditambah Sistem ekonomi nasional telah terintegrasi dalam mekanisme pasar bebas dimana kompetisi menjadi kata kunci dari semua persaingan yang ada. Efeknya didunia pendidikan adalah mahalnya biaya masuk diberbagai perguruan tinggi, sehingga hanya orang bermodal saja yang mampu mengakses pendidikan. Kondisi ini juga mempengaruhi latar belakang mahasiswa yang lebih banyak didominasi oleh masyarakat kelas atas dengan kemampuan ekonomi mapan.
Tantangan Gerakan Mahasiswa 
Dari banyaknya wacana berkembang tentang gerakan mahasiswa hampir seluruhnya memberikan penilaian bahwa untuk sekarang ini paska runtuhnya soeharto seolah makin lama gerakan mahasiswa kesulitan merumuskan strategi gerakannya atau lebih teknis lagi jumlah mahasiswa yang aktif di berbagai gerakan mahasiswa mengalami trend menurun. Meskipun tema – tema menurunnya aktifitas gerakan mahasiswa terlampau sering didiskusikan serta di bahas pada masing – masing internal organ mahasiswa, namun belum juga ada celah alternative apa sebenarnya rumusan strategi gerakan mahasiswa kedepan. Dari berbagai kondisi yang ada, nampaknya ada beberapa hal yang menjadi perhatian bersama terkait tantangan gerakan mahasiswa.
Pertama bahwa latar belakang mahasiswa untuk saat ini banyak didominasi oleh kalangan masyarakat ekonomi menengah keatas dan beberapa tahun kedepan trendnya akan terus meningkat, sehingga kecenderungan mereka lebih menyenangi aktifitas bersifat hiburan dimana kalaupun ingin menyalurkan aktifitas lebih suka terlibat dalam komunitas – komunitas berdasarkan hobi. Organisasi – organisasi mahasiswa yang berdasarkan keberpihakan idiologis jelas tidak akan mendapat tempat yang bagus ditengah mahasiswa yang memiliki kemampuan ekonomi mapan, kalaupun ada mungkun dalam jumlah sangat minim dengan wajah gerakan yang tentunya akan mengalami pergeseran.
Kedua  ada perubahan orientasi sebagian besar mahasiswa pada umumnya , dimana tidak lagi terlalu tertarik dalam aktifitas yang bernuansa politis, mereka lebih menyibukkan diri dalam aktifitas bernuansa akademis. Tradisi diskusi dengan tema – tema yang diluar mainstream kampus cenderung mereka hindari. Perilaku ini bukannya tanpa alasan dimana semakin padatnya masa kuliah serta doktrin dihembuskan dunia kerja menjadi faktor utama perubahan orientasi mahasiswa menjadi lebih pragmatis.
Ketiga berkaitan dengan tema serta gagasan – gagasan yang diusung gerakan mahasiswa masih banyak mengkondisikan Negara sebagai institusi represif yang cenderung menindas masyarakat, akibatnya bila ada aktifitas bersentuhan langsung dengan kekuasaan masih dianggap tabu atau lebih ekstrim lagi dianggap telah keluar dari jalur idealisme gerakan. Padahal kalau dilihat setelah neoliberalisme mencengkram kuat di bumi ini justru kecendrungannya adalah bagaimana kekuatan Negara ingin dilemahkan diganti dengan mekanisme pasar internaisonal.
Tantangan gerakan mahasiswa kedepan kalau dilihat dari perubahan yang ada jelas lebih banyak disibukkan bagaimana memberikan rumusan idiologis terhadap mayoritas mahasiswa yang didominasi penyakit pragmatis dengan cara mengevaluasi strategi gerakan, jenis maupun bentuk program, sampai kepada perubahan kultur organisasi. Dengan tetap secara konsisten memposisikan gerakan mahaisswa sebagai gerakan moral yang menyuarakan kepentingan orang banyak. 
Bila Gerakan Mahasiswa tidak segera merumuskan jalan alternative untuk melakukan penyegaran kembali terhadap aktifitas gerakannya, bukan tidak mungkin makin lama akan ditinggalkan mahasiswa atau lebih ekstrim lagi perannya menghilang secara misterius akibat digilas zaman. 
Wallahualam Bishowab.

Kopi-susu Manusia Kampus


Semuanya telah berubah kawan. Yeah… hanya kalimat tersebut yang dapat mewakili sekaligus mengungkapkan perasaan pilu dan pedih di hati yang telah dilukai zaman. Kamu akan merasa sangat bangga memakai almamater dan beridentitas sebagai masyarakat ilmiah. Tahukah kalian tentang identitas masyarakat ilmiah yang sebenarnya? Masyarakat ilmiah adalah orang yang mengayomi masyarakat umum (society), melawan ketika mengindera penindasan, dan memperjuangkan kebenaran yang tengah diinjak penguasa. Begitulah kawan, jangan pernah menyebut diri kalian sebagai masyarakat ilmiah (Mahasiswa) jika kalian masih tertawa terbahak di ruang kelas dengan melihat kumpulan foto-foto yang dihasilkan oleh produk kaum kapitalisme sementara rakyat mandi air mata dengan jeritan kesusahan. Seorang mahasiswa seharusnya hadir di tengah keluh kesah rakyat, merasakan kepedihan itu, dan mencari penyebab akan kepedihan dan kesusahan tersebut.
Saya pribadi tidak habis pikir mengenai arti mahasiswa yang sebenarnya, apakah yang dikatakan sebagai seorang mahasiswa itu hanya dating ke kelas menikmati lantunan sang pengajar dan menganggapnya sebagai dongeng “ Kancil dan kura-kura” sebagai pengantar tidur atau hanya ingin mencari latar indah tuk ber-selfie. Kebanyakan dari mereka menganggap kampus sebagai mall yang memiliki fasilitas-fasilitas yang menawan yang mendukung kejernihan foto yang dihasilkan dari kamera mereka yang memiliki high megapixel. Apakah ini yang dinamakan penindasan teknologi yang seketika mampu menggantikan otak manusia. Mahasiswa yang dulunya familiar sebagai agent of creating karna mereka adalah kaum-kaum intelektual.
Namun, mahasiswa pada masa kini hanyalah penikmat, penikmat buah pikiran orang lain. Mahasiswa yang seharusnya mengubah wajah dunia bukan wajah dunia yang mengubah mereka. Kata “Mahasiswa” hari ini ibaratkan buku yang bersampul emas yang berisikan kertas-kertas kosong itulah mahasiswa.
Zaman telah mengubah paradigm mereka dan menggugurkan ciri khas dari seorang mahasiswa sebagai kaum yang memiliki dasar pemikiran kritik. Dasar pemikiran kritik dalam hal ini adalah mereka yang tidak serta merta langsung menerima sesuatu tanpa melakukan proses pengkajian, dan mereka yang memiliki the power of resisting jika menyaksikan kesewenang-wenangan terjadi di dalam dunia mereka. Jika kita melihat lebih dekat dampak-dampak dari runtuhnya pemikiran kritik tersebut memiliki banyak dampak negative dibanding dampak positif, salah satunya adalah: (1). Terciptanya gaya hidup modern yang seringkali melanggar norma-norma yang ada baik norma sosial maupun norma agama, hal ini sangat berkaitan erat dengan busana atau performance yang selalu dimunculkan oleh mereka. Kosmetik dan pakaian mewah yang senantiasa menemani keseharian mereka telah menciptakan peradaban baru, peradaban yang seharusnya menjadi tempat atau wadah bagi mereka dalam menuntut ilmu di dunia pendidikan beralih menjadi tempat pameran kosmetik dan pakaian yang berstandar internasional. Mereka telah terperangkap dalam kekerasan zaman dan dibutakan oleh kamuflase kehidupan. Pakaian yang telah dipermak oleh tangan-tangan kaum yang bernaung di bawah system ekonomi pasar dan kosmetik yang telah diracik dengan ramuan-ramuan ajaib yang seketika memancarkan kulit pekat mereka yang menjadi tawanan system tersebut. Rambut colorful terurai di mana-mana, dan aurat menjadi bahan tontonan, once more apakah ini yang dinamakan Mahasiswa? Dimanakah letak etika seseorang yang katanya terpelajar itu? Etika dan idealisme yang dulunya selalu menjadi penanda antara kaum-kaum terpelajar dengan yang tidak kini telah musnah ditelan kekerasan zaman, (2). Tumbuhnya budaya perilaku tidak etis di kalangan mahasiswa. Budaya tersebut telah mulai merambat kepada para generasi muda, salah satunya adalah Kecenderungan mengedepankan etika personal ketimbang etika yang lebih besar (sosial) atau dengan kata lain Kecenderungan mengedepankan kepentingan diri sendiri. Ini telah terpampang jelas pada wajah mahasiswa saat ini yang ditandai dengan membekunya gerakan-gerakan mahasiswa. Padahal jika kita mengkaji problematika-problematika yang tengah dihadapi rakyat saat ini, kita akan menemukan pelbagai permasalahan yang sudah seharusnya ditanggulangi dengan serius. Contoh permasalahan yang sedang dihadapi rakyat sekarang khususnya di Makassar yakni reklamasi Pantai Losari. Ini adalah masalah besar yang tengah dijumpai rakyat Makassar karena mengingat bahwa Pantai Losari merupakan ruang publik yang sering dikunjungi sebagai salah satu tourism place di Makassar atau dengan kata lain Pantai Losari adalah salah satu ciri khas kota Makassar dan juga yang tidak kalah penting yakni masyarakat pesisir di dekat Pantai tersebut akan kehilangan mata pencaharian mereka. Reklamasi Pantai Losari dipelopori oleh 4 instansi besar yakni Pemerintah Provinsi (Pemprov), PT. Yasmine, PT. Ciputra, dan PT. Boskali dari Belanda. Mahasiswa adalah salah satu pihak yang memiliki peran penting untuk melindungi rakyat pesisir dari ancaman the four big empire yang hendak merenggut kehidupan rakyat pesisir dan memprivatisasi ruang public.
Kita tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupan rakyat pesisir pasca reklamasi. Disinilah peran mahasiswa sangat dibutuhkan tapi kenyataannya kebanyakan mahasiswa menutup mata dan telinga, seakan-akan mereka tidak menyaksikan hal tersebut. Di tengah perasaan was-was, rakyat tidak tahu di mana mereka bisa meminta pertolongan dan perlindungan. Apakah mereka harus meminta pertolongan dan perlindungan dari pihak pemerintah? Jawabannya tidak karena mereka tahu bahwa ada actor di balik layar dalam permasalahan ini yakni pemerintah. Apakah mereka harus meminta pertolongan dan perlindungan dari pihak aparatur Negara? Jawabannya tidak karena mereka tahu bahwa dalam pelaksanaan reklamasi ini ada pihak yang mengawasi yakni mereka yang memiliki pangkat. Lalu dimana rakyat harus meminta pertolongan dan perlindungan? Jawabannya adalah Mahasiswa, tapi dimana mahasiswa di saat rakyat membutuhkan mereka? Apakah mereka sedang mengerjakan tugas kuliah atau sedang bercanda ria di mall?. Budaya memikirkan diri sendiri dan acuh tak acuh terhadap rakyat yang sedang sangat membutuhkan pertolongan mereka merupakan potret kehidupan mahasiswa di zaman ini. Itu adalah perbuatan yang sangat menjijikkan, jiwa mereka telah terpasung dalam dunia hedonisme dan apatisme.
Mahasiswa dalam pusaran hedonisme adalah kalimat yang cocok untuk menggambarkan mahasiswa saat ini. Saya kembali teringat dengan beberapa artikel yang pernah saya baca yang menyangkut masyarakat ilmiah/manusia-manusia kampus/mahasiswa, dalam artikel tersebut banyak dipaparkan mengenai etika dan shock budaya baru mahasiswa, saya mencoba membaca halaman demi halaman dan saya menemukan kata yang unik yakni Mahasiswa, sebuah kata “wah” bagian masyarakat kita, Indonesia. Sebagian pemuda melihat hanya sebatas angan yang menggantung di tingginya langit biru untuk ikut mengecap indahnya menjadi manusia kampus. Dan masih banyak orang tua negeri ini hanya bisa mengusap dada karena merasa bersalah karena tidak mampu menjadikan anaknya masuk dalam golongan kaum menengah (kuliah). Pertanyaannya sekarang, apakah benar mahasiswa menjadi sesuatu yang “wah”, factor-faktor apa yang membuat mahasiswa sebagai “barang” atau dunia mewah? Dan kemudian banyak pemuda di negeri nusantara ini yang kemudian menginginkan sandang namanya sebagai mahasiswa, serta mengapa orang tua sedikit banyak merasa “bersalah” sebab ketidakmampuan financial menyekolahkan anaknya di perguruan tinggi?. Dalam hal ini kita bisa mengindikasikan bahwa ada sesuatu tersirat yang maha dahsyat di balik sandangan kata mahasiswa!
Padahal kalau mencermati, realita manusia kampus hari ini, sebenarnya tidak terlalu istimewa, terlepas bahwa seorang soekarno dahulu pernah berkata “berikan aku sepuluh pemuda, maka aku akan menggoncangkan dunia”, ataupun kembali ke sejarah atau semacam beromantisme ria, dimana pada tahun 1998, tepatnya 21 mei, Rezim Despotis Seoharto tumbang, karena terpacu oleh desakan mahasiswa, atau kejadian “ironi” 1966, soekarno sebagai presiden pertama juga harus meninggalkan singgasana empuknya sebab gerakan mahasiswa bersama partner politiknya (ABRI). Namun disini, keadaan fakta sejarah yang telah disebutkan diatas, ternyata tidak serta merta membuat seluruh mahasiswa harus bangga dengan gemilang jaya masa lalunya. Karena ketika kita kembali pada realita dalam konteks kekinian, spirit demikian (mengambil inisiasi bergerak dalam melakukan sebuah perubahan, menumbangkan sebuah stagnasi sosial) makin hari makin berkurang atau mungkin sudah hilang dalam benak semua mahasiswa. Naudzubillah!
Semoga tidak melakukan suatu simplikasi dari kompleksitas serta keunikan mahasiswa, saya sering mengatakan bahwa mahasiswa hari ini tidak lebih dari korban-korban kebudayaan. Korban kebudayaan baru yang sebenarnya pada awalnya asing bagi mereka, jeratan-jeratan Mesin Idiologi Kapitalis dengan bentuk style-style kemudian sangat kuat menjerat mahasiswa sebagai element pemuda. Sadar atau tidak, mahasiswa hari ini menjadi “Silent Mayority “mayoritas yang diam atau didiamkan dengan buaian-buaian mesin maha dahsyat tadi. Dapat diduga apa yang terjadi kemudian, manusia-manusia kampus sangat lucu dalam statusnya sebagai kelas menengah pendorong perubahan, sebab dia tidak lebih dari objek perubahan itu sendiri yang di setting oleh kalangan tertentu yang tentunya untuk kepentingan mereka. Ketika kawan-kawan mahasiswa berjalan dalam keramaian kampus, melihat dengan kacamata kritis maka akan menemukan potret-potret manusia yang sedang sakit, mengalami shock budaya, mengalami inferioritas memandang budayanya, dan melihat budaya yang sebenarnya mendominasi dan menjajahnya sebagai budaya yang patut ditiru dalam setiap lekuk langkahnya. Maka ketika melihat mahasiswa= pemandangan potret manusia-manusia yang shock budaya baru, manusia yang teralienasi dengan nilai-nilai leluhur dan lingkungannya. Manusia yang berada dalam persimpangan jalan dalam pertarungan global; semua kelompok/golongan saling memperebutkan dominasi dan pengaruhnya. Dengan dominasi budaya barat yang sangat gencar, bersifat revolusioner, lewat media-media, terutama media elektronik, lanjutan penindasan akan lebih vulgar oleh kita yang kritis melihat fenomena social mahasiswa. Berkembangnya imperialisme dengan metode persuasif atau hegemoni lewat model style, pakaian, busana perempuan, kosmetik, dan lain-lain seperti yang telah diuraikan pada paragraph ke-4 line ke-7, menuju suatu muara penyamaan homogenitas dengan bahasa universalitas. Maka dalam benak mahasiswa kemudian sibuk dengan konstruk-konstruk budaya yang ditebarkan oleh para pemodal/kapitalis. Sebagai misal, konstruk pikiran kita akan melihat bahwa manusia/mahasiswa modern adalah yang memakai celana “botol-botol”, baju ketat, warna mencolok, memirang rambut, kelompok ini sebagai representasi mahasiswa modern yang layak hidup dan di contoh dalam peradaban manusia kampus. Sebaliknya sebagai representasi tradisionalisme, mahasiswa yang berpakaian jaman dulu, memakai kerudung besar, memakai kebaya, atau yang sering disebut katrok, dan tidak layak hidup dalam peradaban manusia kampus. Sadar atau tidak konstruk social seperti ini, adalah permainan para pemodal sedemikian rupa sehingga terbentuk kelas-kelas social dalam masyarakat kampus.
Masyarakat ilmiah/manusia-manusia kampus/mahasiswa harus menerapkan etika Teleologis dan Universalisme dalam diri mereka, yang dimaksud dengan etika Teleologis adalah Suatu perbuatan (tindakan) hanya akan dinilai baik, apabila perbuatan (tindakan) tersebut bertujuan untuk mencapai sesuatu yang baik, dan atau akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan itu baik, sedangkan etika Universalisme adalah Sesuatu dapat dinilai baik apabila dapat memberikan kebaikan kepada orang banyak. Oleh karena itu, membela dan memperjuangkan rakyat yang sedang menghadapi penindasan adalah tugas mahasiswa.
Problematika mahasiswa hari ini tidak terlepas dari analogi Karl Marx yang mengatakan bahwa “Menghasilkan barang-barang yang berguna dalam jumlah yang banyak akan menghasilkan orang-orang yang tidak berguna.” Jika kita menginterpretasikan apa yang dikatakan oleh tokoh Kapitalisme tersebut dan kita hubungkan dalam kehidupan kampus maka kita bisa memperoleh kesimpulan bahwa dunia kampus hari ini bagaikan dunia pasar yang mana para petinggi menggait calon mahasiswa sebanyak-banyaknya mereka hanya memperhitungkan jumlah daripada kualitas. Hal itu terbukti pada saat ini, kita bisa menyaksikan bahwa jumlah mahasiswa yang ada di kota ini di atas rata-rata tapi pertanyaan yang muncul apakah jumlah bisa menjamin sebuah kualitas.
Goresan ini saya persembahkan kepada para mahasiswa yang lupa akan perannya sebagai masyarakat ilmiah yang beretika (agent of change, agent of social control, and agent of moral force).
“Menulis, membaca, dan melawan adalah Mahasiswa”

Kamis, 11 September 2014

FAH Akan Adakan Seminar Internasional

Fakultas Adab dan Humaniora UIN Alauddin Makassar dalam waktu dekat ini akan melaksanakan Seminar Internasional "Islam, Literacy and Local Culture" sebagai rangkaian kegiatan Forum Dekan dan Dosen Ilmu-Ilmu Adab (ADIA) se Indonesia. Adapun pembicara dalam seminar tersebut diantaranya Gubernur Sulsel, Prof Dr H dede Rosyada, M.A, Prof Dr Rahim Yunus, M.A, Prof Dr Kathryn Wilson, Prof Dr Stephen Druce, Prof Dr H Rohani H.A. Gani, Dr H Adanan H. Basar, Dr Hj A Majdah Agus Arifin, dan Wahyuddin Halim, MA.

 Kegiatan yang akan diadakan pada tanggal 31 Oktober sampai dengan 2 November juga menjadi ajang pertemuan Almuni FAH dalam rangkaian acara tersebut. Bagi yang ingin berpatisipasi, silahkan hubungi contact person yang ada di poster ini.

Jumat, 05 September 2014

Kreativitas dalam Menyambut Mahasiswa Baru

Ada yang menarik dalam Penyambutan Mahasiswa Baru di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Alauddin tahun ini, saat diadakan prosesi kirab sebagai penyambutan, tampak para Pimpinan FAH menunggangi kuda dengan mengenakan pakaian adat Bugis-Makassar. Keunikan yang ditampilkan oleh para Panitia PMB yang berasal dari BEM FAH dan HMJ sejajaran ini menjadi perhatian para sivitas akademika pada saat berlangsungnya ceremonial tersebut.

Barisan cerah dengan pernak-pernik kuning digunakan para mahasiswa baru semakin memberikan kesan yang ceria dan meriah, apalagi di iringi suara gendang khas lokal yang semarak. Seperti tahun sebelumnya, kegiatan ini merupakan sebuah upacara memasuki fakultas bagi adik-adik mahasiswa baru. Kegiatan ini selain menampilkan kreativitas mahasiswa, juga membangun silaturahmi yang lebih terbuka kepada seluruh sivitas akademika FAH.

Selama 2 hari mahasiswa baru FAH di perkenalkan suasana akademik dan kampus. Selain itu, para mahasiswa yang tergabung dalam HMJ dan BEM juga menyampaikan urgensi dan manfaat dalam berorganisasi. Disamping itu para pimpinan fakultas, jurusan, dosen-dosen dan staf mengenalkan diri dan tugasnya masing-masing. Semoga tahun berikutnya lebih kreatif dan membangun mahasiswa FAH yang lebih kreatif.

Selasa, 15 April 2014

HIMAJIP UIN Alauddin Gelar Seminar Nasional

Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu Perpustakaan UIN Alauddin Makassar mengadakan kegiatan Seminar Nasional Perpustakaan “Transformasi Kepustakawanan Indonesia di Era Informasi di Audiotrium UIN Alauddin Makassar, kemarin (27/3/2014). 


Pada kegiatan ini hadir sebagai pembicara yaitu Nilma,S.Sos,MM (Ketua IPI Sulsel), Dr. Muh. Nadjib,M.Lib (Kepala Perpustakaan UNHAS), Kepala BPAD Sulsel, dan Tulus Wulan Juni Pustakawan Berpestasi Sulsel. Kegiatan ini dihadiri juga oleh ketua Jurusan Ilmu perpustakaan, dalam sambutannya menyampaikan bahwa jumlah mahasiswa Ilmu Perpustakaan di UIN Alauddin Makassar sekitar 600-an orang dan telah melahirkan alumni sekitar 250 orang, dan patut disyukuri bahwa 100% semuanya telah terserap didunia kerja terutama di Perpustakaan.

Perkembangan teknologi informasi yang harus bertransformasi ada 3 hal yaitu Perpustakaan, Pustakawan/Penerjemah dan Pusat Informasi. Akibat transformasi teknologi maka juga berakibat transformasi sosial. Ciri-ciri era informasi segala sesuatunya terdiri dari informasi, pekerja-pekerja seperti pedagang dan petani tergantung kepada informasi informasi seperti masyarakat di Singapura. Pada intinya seorang pustakawan harus merubah perilaku, menambah pengetahuan dan wawasan agar searah teknologi, sehingga pustakawan sejajar dengan profesi yang lain bahkan dapat menjadi penting, Ujar Dr. Muh. Nadjib, M.Lib (Kepala Perpustakaan UNHAS) yang juga selaku narasumber.

Minggu, 06 April 2014

PENTAS PERKENALAN Komunitas Seni Adab (KisSA)

Komunitas Seni Adab KisSA baru-baru ini pada awal bulan april melakukan pentas perkenalan dalam rangka perekrutan anggota baru atau biasa di sebut PEKA SENI VI.
    
Pada kegiatan ini, banyak pementasan yang dilakukan KisSA diantaranya, Teater Arena yang membawakan naskah dari salah satu senior KisSA yaitu Kanda Muh. Taufiq Syam yang berjudul lobby. adapun dalam teater ini dimainkan oleh 4 orang anggota KisSA yaitu Arang, Zul, Marsu, dan Atika. dalam pementasan teater ini ternyata direspon baik oleh penonton karena memiliki makna yang sangat mendalam yang tidak bisa di ungkapkan oleh mahasiswa, lewat teater ini kami bisa mengungkapkannya. Disisi lain KisSA juga mementaskan Musik dan Puisi, Puisi yang di bawakan adalah karya-karya dari anak KisSA itu sendiri.
    Di Sekretariat panitia PEKA SENI VI (TPS VI), KisSA juga melakukan pameran karya dari anak KisSA sendiri, ada berbagai macam puisi, rupa, dan masih banyak lagi,
Komunitas Seni Adab (KisSA) selalu dan akan selalu berkarya karena yang menjadi motiviasi mereka untuk berkarya adalah KARENA NAMA AKAN MATI TANPA KARYA.

Rabu, 26 Maret 2014

UP GRADING BEM-FAH

Baru-Baru Ini BEM-FAH UIN Alauddin Makassar mengadakan UP GRADING pada tanggal 21-22 Maret 2013 yang bertemakan "Keberagaman dalam membangun kebersamaan berlembaga" bekerja sama dengan HIMABSA dan HIMABSI, kegiatan ini dihadiri oleh hampir seluruh pengurus BEM-FAH, dan di buka langsung oleh Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan Fakultas Adab dan Humaniora.
  
Dalam UP GRADING ini, banyak materi-materi yang sangat berguna yang di turunkan untuk menjadi pengetahuan awal bagi pengurus untuk melaksanakan tugasnya di dalam lembaga ini. Adapun yang menjadi pemateri adalah mantan Ketua BEM FAH yang sedikit banyaknya mengetahui problem-problem yang ada di dalam lembaga serta bagaimana cara mencarikannya solusi.

Kamis, 06 Maret 2014

TAN MALAKA DAN PELARANGAN DISKUSI

Irsan, Pustakaman Studio Baca Alauddin
Sudah dilangit kami melintas
terbang melayang kebumi lain.
Namun Akal pantang tewas
Asal masyarakat terus menjamin. (Tan Malaka, Madilog) 
Tanggal 19 Februari 1949 adalah hari yang misteri dan tragis buat Ibrahim Datuk Tan Malaka mengusung revolusi dan kemerdekaan Indonesia. Tepat pada hari ini 65 tahun yang lalu, Tan Malaka mengakhiri perjuangannya, oleh tembakan yang menidurkan ia selamanya. Tan Malaka adalah tokoh yang kontroversial dalam sejarah pemerintahan Indonesia, mulai dari pra kemerdekaan hingga saat ini. Tetapi namanya masih berkibar dan berkobar oleh manusia-manusia yang setia dengan ideologinya dan antuasias mengkaji karya-karyanya. Dalam Berbagai literatur, Tan Malaka dianggap sebagai tokoh gerakan kiri, sebagaimana dipaparkan oleh Harry A Poeze dalam bukunya Pergulatan Politik Tan Malaka 1925-1945. Ini bisa dilihat ketika ia aktif dalam gerakan kiri yang saat itu berjuang melepaskan bangsa dari belenggu kapitalisme, imperalisme dan kolonialisme. Bagi Poeze banyak karangan dan pemikiran Tan Malaka yang orisinil, berbobot dan brilian.

Rabu, 19 Februari 2014

KERJA MAKSIMAL PROGRAM KERJA BEM-FAH

Baru-baru ini BEM-FAH melaksanakan Rapat Keja periode kepengurusan 2014-2015 pada tanggal  1-2 Februari 2014 di Benteng Somba Opu Makassar. Kegiatan yang bertema "Terwujudnya Maasiswa Fakultas Adab dan Humaniora yang Berkarakter dan Berkarya" di hadiri oleh para pengurus yang terpilih dan juga mahasiwa Fakultas Adab dan Hmaniora. Hadir Wakil Dekan I FAH yang membuka acara Rapat Kerja tersebut. "

Beberapa program kerja yang telah dirumuskan akan selanjutnya dilaksanakan dengan maksimal, diantaranya Adab Expo yang merupakan kegiatan besar, sehingg
a diharapkan kerja maksimal dan kolektif seluruh pengurus", kata Suriadi Ketua BEM-FAH.

Selasa, 18 Februari 2014

“DULCE ET UTILE”

Penulis : Delukman A  (Alumni BSI FAH) 

Dulce yang berasal dari bahasa latin bermakna Enjoyment dan Utile yang bermakna Usefulness. Dalam setiap karya sastra pastilah terdapat dua hal pokok tersebut; enjoy dan useful. Enjoy bisa bermaknya dalam karya sastra yang dibawakan pasti ada hiburan tersendiri (artistic insight). Usefulness merupakan hal yang tersirat dan tersurat dalam karya sastra tersebut, bisa berupa pesan, sindiran, opini, pernyataan, dan penyampaian rasa akan hal yang ingin disampaikan penulis.
Dulce et utile dapat juga berarti manis dan berguna manandakan bahwa sastra bukan saja manis untuk dinikmati sebagai sebuah karya, tetapi berguna. Dalam hal manisnya maka karya sastra itu dapat dilihat dari sudut pandang estetika, ataupun dari sisi intrinsik (strukturalisme murni). Apa yang ditampilkan seorang penulis atau pengarang adalah sangat mungkin memainkan keindahan bahasa dan imajinasi yang ia gunakan untuk menggugah pembaca, hingga saatnya pembaca akan merasa terbawa oleh suasana pada novel tersebut dan terserat dalam merasakan apa yang terdapat dalam novel tersebut atau disebut dengan dream in literature. Keindahan alur cerita (plot) dan juga penokohan (character) hingga pada konflik dan memuncak pada klimaks adalah keahlian seorang penulis dalam merangkai unsur intrinsik menjadi suatu yang menarik untuk kita nikmati.
Salah satu kegunaan karya sastra yang menarik banyak pemikir dan kritkus adalah kegunaan karya sastra terhadap dunia sosial (sosiologi sastra).  Bagaimana karya sastra itu dibentuk oleh masyarakat, kemudian masyarakat dibentuk oleh karya sastra. Karya sastra sangat penting kedudukannya dalam sebuah masyarakat. Seperti apa yang diutarakan oleh Wellek dan Warren (1976:94) Literature is a social institution, using as its medium language, a social creation. sastra sebagai sebuah institusi sosial dan juga sebagai media. Dalam fungsinya sebagai media maka sastra dapat menyampaikan apa yang terjadi dalam masyarakat. Apa yang kemudian dianggap taboo dan harus dijaga dalam masyarakat, karya sastra dapat membawanya menjadi sesuatu yang wajar untuk dibicarakan. Beberapa karya sastra yang menyimpang dari norma sosial contohnya salah satu karya dari William Shakespeare “Hamlet” dimana terdapat pertentangan nilai yang tidak wajar dalam kehidupan sehari-hari, tapi mungkin saja terdapat cerita yang sama dengan Hamlet dalam masyarakat.
Di indonesia ada juga karya sastra yang tertuang dalam puisi, novel, drama maupun roman yang menggambarkan situasi yang terjadi dalam masyarakat, sebut saja roman-roman Pramoedya Ananta Toer, novel dari Buya Hamka, Andrea Hirata dengan trilogi laskar pelanginya dan masih banyak lagi. Karya-karya tersebut menjadi salah satu media untuk menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat. Seperti awal kemunculan drama dan dalam proses perkembangannya, dramapun mencoba menguak apa yang terjadi dalam masyarakat dan membawa nilai-nilai kehidupan kedalam sebuah pergelaran dalam bentuk drama. Hal tersebut seperti yang terlihat dalam buku Samekto yang berjudul Ikhtisar Sejarah Kesusastraan Inggris,  dimana ada sebuah bentuk drama yang memperlihatkan setting waktu, tempat dan gerak (three unities) yaitu bentuk drama klasik. Drama klasik betul-betul menggambarkan apa yang terjadi pada seseorang berdasarkan pada fakta yang ada.
  Dalam Social Science Journal “sociology of literature creativity” (Goldmann, 1967:495-496). Goldmann memaparkan relasi antara manusia dengan lingkungannya, manusia dengan pengalaman yang ia dapatkan dari lingkungannya dan manusia sebagai bagian dari masyarakat itu sendiri. Goldmann secara terperinci menyebutkan ada lima bagian penting antara sosial dan sastra, secara garis besarnya dapat diterjemahkan bahwa karya sastra yang dihasilkan oleh individu tidak terlepas dari apa yang telah dialaminya (experience). Apa yang dialami oleh seorang penulis (social background) akan berpengaruh pada kualitas karya sastra yang dihasilkan.
  Teori sastra berkembang juga sesuai dengan perubahan nilai-nilai, sosial dan bahkan ilmu pengetahuan yang terjadi dari masa ke masa. Dari sekian teori ilmu yang baru berkembang pada abad -19, maka sosiologi menjadi salah satu teori yang banyak diacu oleh para kritikus atau pun para ahli teori sastra. Hal itu tak terlepas dari fungsi karya sastra sebagai media untuk menggambarkan kehidupan sosial ataupun sebagai kitik sosial terhadap apa yang terjadi pada saat itu. Sebuah karya sastra dapat menjadi propaganda atas apa yang diinginkan atau sesuatu yang diperjuangkan. Seperti yang kita ketahui bahwa sosiologi sastra yang digunakan diawal kemunculannya adalah untuk menjadi sebuah kritik terhadap apa yang terjadi pada masyarakat. Dimana terjadi pergolakan antara kaum kapitalis dan kaum sosialis yang memperjuangkan sesuatu yang menurut mereka harus diperjuangkan demi kehidupan yang lebih layak. Maka karya sastrapun dijadikan sebagai jembatan untuk menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi dan menyampaikan pesan yang berbau sosialis untuk menentang kaum kapitalis.
  “Litterature is an attempt to make sense of our lives, and Sociology is an attempt to make sense of the ways in which we live our live”, demikian dikatakan Tom Burns dan Elizabeth Burns dalam Pengantar bukunya berjudul Sociology of Literature and Drama (1973: 9). Pendapat ini mendukung apa yang diakatakan oleh Plato yaitu “mimesis” , bahwa karya sastra adalah gambaran tentang apa yang sebenarnya terjadi dalam kehidupan kita.
Kritik yang dilakukan oleh kaum-kaum Sosiolis telah menyentuh dunia sastra dengan tulisan kritik mereka seperti  Karl Marx, Max Weber, Proudhon sampai dengan Taine, bahkan kalau mau ditelusuri lebih jauh nama Montesquieu dan Jean-Jacques Rousseau tidak dapat kita abaikan. Kajian sosiologis bersifat kritis terhadap “claims” tentang “values of achievement”, dan juga terhadap asumsi-asumsi yang berkaitan dengan perilaku manusia.
Dengan demikian, menurut Rene Wellek, dalam kajian sosiologi sastra,  kita dihadapkan pada tiga hubungan antara sastra dan masyarakat: 1) Sosiologi pengarang, kepengarangannya dan lembaga sastra, pertanyaan-pertanyaan sekitar basis ekonomi dalam penciptaan sastra, latar belakang sosial dan status pengarang, ideologi sosial yang dianutnya baik sadar maupun tidak, 2) Masalah substansi sosiologis, implikasi dan makna sosial dari karya sastra itu sendiri, 3) Masalah resepsi pembaca dan pengaruh sosial sastra terhadap masyarakat, (Wellek, 1976: 96).
Dalam hal ini sosiologi pengarang sangat berpengaruh untuk mempengaruhi pengarang dalam membuat sebuah karya sastranya. Kemudian akan berimbas pada karya yang dihasilkan, apa yang didapat dalam lingkungan maka cenderung akan diimplementasikan dalam karya sastra yang diciptakan. Karya sastra yang akan berpengaruh pada pembaca, hingga melibatkan luapan emosianal (catharsis) (Ratna, 2011:164). Pembaca sebagai penikmat sebuah karya sastra akan turut andil dalam perubahan sosial yang berlaku dalam masyarakat.
Bagian terpenting dalam sosiologi sastra adalah ketiga faktor yang diatas, yaitu (1) sosiologi pengarang, bagaimana pengarang mendapatkan apa yang terjadi dalam masyarakat kemudian menuangkannya dalam karya sastra. Seperti apa yang dikatakan oleh Goldmann bahwa seorang penulis karya sastra tidak terlepas dari apa yang telah dialami. Apa yang telah dialami oleh seorang penulis akan berpengaruh besar terhadap sikap, sifat, pola pikir dan juga ideologi. (2) kualitas yang terkandung dalam karya sastra yang dihasilkan akan memperlihatkan bagaimana seorang penulis mendapatkan ide yang ia tuangkan dalam karya sastranya, tentunya hal tersebut terlepas pada kaindahan bahasa yang digunakan. Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah kualitas cerita yang disampaikan. Nilai yang tertuang dalam karya sastra tersebut dapat juga menggambarkan keadaan sosial penulis. karya sastra tersebut berlanjut pada pengaruhnya terhadap pembaca (3) resepsi pembaca terhadap karya sastra. Pada saat pembaca membaca karya sastra maka secara tidak langsung karya sastra tersebut akan mempengaruhi cara berfikir dan bertingkah laku.

Jumat, 15 November 2013

HMJ BSA : Mengembangkan Kemampuan Bahasa Arab

Himpunan Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Arab kembali mengadakan kegiatan Syahrul Lail di Gedung D Kampus 1 UIN Alauddin pada 9 November 2013. Kegiatan ini diikuti oleh mahasiswa bahasa dan sastra Arab. Hal ini dilakukan sebagai upaya meningkatkan kemampuan bahasa para mahasiswa bahasa Arab. Pada kegiatan tersebut, hadir Sekretaris Jurusan BSA dan Wakil Dekan III, Dr. H. Muh. Dahlan, M.Ag yang memberikan sambutan sekaligus membuka acara tersebut.

BEM FAH Melatih Kepemimpinan Mahasiswa

Dalam mengasah kepemimpinan mahasiswa Adab dan Humaniora, BEM Fakultas Adab dan Humaniora mengadakan kegiatan tahunan Latihan Kepemimpinan Mahasiswa (LKM) di Gedung Fakultas Adab Lantai 2 pada tanggal 25-27 Oktober 2013. Peserta LKM sebanyak 80 orang, yang mayoritas di ikuti oleh mahasiswa semester I. Dalam kegiatan ini terdapat beberapa materi diantaranya, Kepemimpinan, Strategi Kepemimpinan Mahasiswa, Keorganisasian, Problem Solving dan beberapa materi lainnya. Selain mendengarkan materi, peserta juga diberikan kesempatan untuk melakukan presentasi makalah yang telah dibuat sebelumnya dan mendiskusikan bersama peserta yang lainnya. 

Jumat, 27 September 2013

HMI Komisariat Adab bersama BEM-FAH Datangkan Motivator Man Jadda Wajada

Motivator Akbar Zainuddin & panitia
Pengurus HMI Kom Adan & BEM-FAH
Baru-baru ini HMI Komisariat Adab dan Humaniora Cabang Gowa Raya bekerjasama dengan BEM-F Adab dan Humaniora  mengadakan Training Motivasi "Man Jadda WaJada" yang diadakan di LT Universitas Islam Negeri ALauddin Makassar pada Kamis 26 September 2013. Hadir Motivator dalam kegiatan tersebut yaitu Kanda Akbar Zainuddin yang juga merupakan penulis Buku Man Jadda Wajada : The Art Of Excellent Life. Sekitar 60-an mahasiswa ikut dalam training tersebut berasal dari mayoritas mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora terkhusus pada anggota HMI Kom Adab dan juga beberapa dari mahasiswa fakultas lainnya. Dalam motivasinya Akbar Zainuddin mengajak kepada peserta training untuk menjemput impian mereka melalui perencanaan hidup dan mengetahui potensi yang dimiliki masing-masing.

Jumat, 20 September 2013

Perjuangan KisSA di FTMI 9

Lakon Pemain "Dilarang Menyanyi di Dalam Kamar Mandi
Pada pengumuman nominasi-nominasi (8/9/2013) Festival Tetaer Mahasiswa Indonesia , akhirnya KisSA masuk 3 besar nominasi Peran Pembantu Wanita dan juga masuk dalam nominasi Musik namun belum berhasil meraih kategori terbaik dalam 2 nominasi itu. Meskipun demikian apa yang ditampilkan oleh Komunitas Seni Adab (KisSA) dengan lakon "Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi" menjadi prestasi tersendiri bagi pemain-pemain KisSA sendiri sebab diantara mereka sebagian besar merupakan pemain atau anggota baru yang telah menunjukkan hasil proses dan kegigihan berlatih. Bagi KisSA yang telah berpatisipasi selama 4 tahun di FTMI ini, mengikuti kegiatan ini merupakan sebuah jalan yang tidak mudah untuk sampai di Universitas Cokroaminoto dalam menampilkan usaha terbaik mereka. Bagi mereka mengikuti FTMI ini bukan hanya sekedar untuk Festival atau Lomba yang pada akhirnya harus menilai siapa yang terbaik, tapi tentunya ajang seperti ini bisa mengasah kemampuan para anggota dan juga memaknai apa yang dilakoni serta proses yang dilalui.

Kamis, 05 September 2013

Memaknai PMB 2013

Kirab PMB 2013
Penyambutan Mahasiswa Baru (PMB) 2013 baru saja berakhir. Sejumlah agenda yang dijalani mahasiswa baru memberikan kesan tersendiri buat mereka. Dimulai dari penyambutan dengan melakukan kirab dari gerbang kampus menuju fakultas sebagai bentuk langkah awal menuju fakultas Adab dan Humaniora. Tidak hanya sekedar seremoni belaka, namun kirab yang dilakukan ini sebagai petanda bahwa dengan barisan yang kokoh dan teratur kita bisa menuju pada satu titik yang diinginkan. Balutan pakaian seperti sarung dan juga berbagai hiasannya menjadikan fakultas Adab dan Humaniora sebagai sebuah identitas yang tidak meninggalkan budaya lokal dan nilai-nilai islam.

Dalam kesempatan itu, para unsur pimpinan fakultas, jurusan, dosen beserta staff dan tata usaha ikut memperkenalkan diri dan tugasnya agar mahasiswa baru mengetahui alur administrasi, akademik dan kemhasiswaan. Selain itu juga mahasiswa baru diberikan materi-materi yang dapat memberikan pencerahan agar nantinya menjadi mahasiswa yang tidak hanya cerdas didalam kuliah tetapi juga diluar dari mengikuti kuliah. Dengan adanya PMB 2013 ini, diharapkan dapat terbangun silaturahmi yang baik sehingga komunikasi antar mahasiswa dan juga dosen serta pimpinan dapat berjalan secara harmonis. Hal ini perlu di maknai, sebab sebagaimana kondisi kampus saat ini yang kelihatannya kehilangan kepercayaan atau kasih sayang.   

Fenomena kampus saat ini rupanya memang berada pada titik yang cukup memprihatinkan, dimana sebagian dari pimpinan kampus maupun dosen seakan tak mendekatkan diri mereka dalam suasana keakraban kepada mahasiswa layaknya seorang bapak dan anak. Hal ini juga belum terlepas dari posisi mahasiswa yang sepertinya dijadikan objek bukan subjek dari pendidikan sehingga memungkinkan mahasiswa berprasangka buruk oleh setiap kebijakan. Melalui momen PMB 2013 ini diharapkan muncul kesadaran bersama bahwa pentingnya sebuah lingkungan yang "bersahabat dan berkeluarga" sehingga apa yang dicitakan seperti pencerdasan, pencerahan dan prestasi itu bisa tercapai. Dan pada akhirnya, mahasiswa hadir untuk menegaskan diri mereka adalah manusia yang bukan manusia sempurna.

THE DEATH OF ROMANCE

Spanduk Kritikan Penyambutan Mahasiswa Baru 2013
Sendi-sendi peradaban kini bergerak kaku,  lamban, dan terlampau mudah ditebak. Dunia telah kehilangan penyihir, dan peramalnya. Para tenung terkurung di antara gedung-gedung tinggi menjulang. Bintang-bintang kehilangan cahayanya di malam hari, dan di siang hari matahari hanya menciptakan bayangan tanpa kehangatan. Malam sebagai talang untuk berkontemplasi terganti oleh perbincangan abal-abal lewat jejaring sosial. Maka tak ayal para nabi begitu skeptik meramalkan abad kita ini tak akan lagi ada manusia yang bertemu jibril lewat mimpi. Sebab mimpi kita telah diatur sedemikian rupa untuk semata-mata mengejar kekayaan dan kehormatan.
Pikiran romantik pernah berkali-kali bereinkarnasi menantang kemapanan. Peradaban sesekali tersadar, merongrong pemimpin-pemimpin salim lalu kembali meredup seiring munculnya tirani. Romantik mengajarkan manusia agar tak perlu merasa takut karena mereka hidup di bumi manusia. Ia mengajarkan pula tentang cinta dan kasih pada sesama, mengerti hak masing-masing tanpa harus mengerahkan kekuasaan untuk menaklukkan dan merebut hak orang lain.
Pada mulanya adalah kata. Kata mengutarakan bahasa, dan bahasa tercipta untuk mengungkapkan perasaan cinta. Namun masa romantik telah kronis. Nafasnya tersengal oleh sumpalan laras, dan pentungan. Kata-kata kasar, gertakan, dan cacian telah menyelimuti kota. Manusia digunakan sebagai alat peradaban bukan tujuan. Saintis mendesain mesin, Guru-guru sibuk mencetak buruh, dan ahli dan penegak hukum hanya terfokus membangun penjara. Kampus tak lagi menciptakan manusia.
Ketakutan adalah pembunuh rasa kemanusiaan yang paling nyata. Kekerasan dan pembunuhan dilegalkan negara. Keluwesan berfikir manusia dipandang sebagai energi negatif yang mesti dibasmi. Sistem sekuriti diperketat. Perguruan tinggi yang diharapkan sebagai pabrik pencetak peradaban gagal mengkonstrusi cinta dengan hadirnya pengamanan yang berlebihan. Manusia kehilangan rasa ramah. Mau tak mau ketidakpercayaan antara satu sama lain harus dibayar mahal dengan pengamanan. Padahal kita lupa sebuah falsafah yang mendunia bahwa cinta dapat mengubah segalanya, ataukah kita tak lagi percaya pada cinta?

BEM-F ADAB DAN HUMANIORA