Menanti Harmonisasi Sunni-Syiah
FENOMENA kekerasan dalam
berteologi, khususnya seperti yang dialami penganut Syiah maupun Ahmadiyah akhir-akhir ini mengisyaratkan bahwa kepekaan keberagamaan di
tengah masyarakat modern dan demokratis ini masih menjadi bahaya laten
bagi munculnya konflik berpaham di tengah masyarakat.
Meski berada dalam sebuah rumah yang sama dan diatur rujukan teks suci yang sama, akan tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa konflik horisontal bernuansa perbedaan mazhab teologi ini masih saja terjadi dan bahkan menjadi ancaman kehidupan beragama.
Alasan teologis dijadikan alasan dasar meneror, membantai, dan menghabisi kelompok lain yang tidak sepaham atau tidak sama dalam berteologi. Mengatasi konflik berteologi ini diperlukan upaya dialogis untuk menghadirkan kesadaran teologis di kalangan masyarakat muslim agar mareka mampu mendefinisikan dirinya di tengah keragaman paham atau mazhab.
Di penghujung tahun 2011 yang lalu, konflik bernuansa SARA kembali terjadi. Kelompok minoritas Syiah di Sampang diserang warga yang tidak setuju kelompok ini tinggal di sekitar wilayah mereka. Alasannya masih klasik, kelompok Syiah dianggap sesat karena teologinya berbeda dengan masyarakat Sunni.
Efek kekerasan ini menelan banyak korban. Sejumlah rumah dan pesantren Syiah habis dibakar, warga Syiah diusir dari kampung halamannya, sementara anak-anak mereka mengalami trauma.
Menanggapi sejumlah konflik kekerasan atas nama agama ini, cendikiawan muslim Syafi'i Ma'arif menyatakan kekecewaannya atas tindakan brutal dan sewenang-wenang sekelompok orang yang merasa paling "berislam" dan merasa paling benar dengan menampilkan wajah Islam yang seram dan keras dalam beragama.
Politik-Teologi
Konflik Sunni-Syiah sebenarnya berawal dari persoalan politik tentang siapa yang berhak mengganti Nabi setelah wafat. Menurut Syiah, berdasarkan sejumlah indikator, Ali ra mestinya lebih berhak mengganti Nabi saw.
Akan tetapi, faktanya Abu Bakar terpilih sebagai khalifah. Konflik kemudian berlanjut ketika Ali ra menjadi khalifah.
Pada saat itu, Muawiyah bin Abi Sofyan (Gubernur Damaskus) mendesak Ali menuntaskan kasus pembunuhan Usman. Dianggap tidak mampu, Muawiyah memberontak. Akibatnya, terjadilah perang saudara yang dikenal dengan perang Siffin.
Dalam perkembangan selanjutnya, pengikut Ali dan keturunananya disebut sebagai Syiah dan Mu'awiyah dianggap sebagai kelompok Sunni.
Dalam perspektif teologis, kelompok Sunni menjadikan mazhab Asyariyah dan Maturidiyah (ahl al-Sunnah wa al-Jamaah) sebagai landasan teologisnya dan berkembang menjadi sebuah kekuatan teologi arus utama hampir di seluruh wilayah yang terdapat komunitas muslimnya termasuk di Indonesia, sedangkan Islam Syiah lebih mengadopasi teologi Mu'tazilah dan mengukuhkan dirinya di Iran sebagai pusat kekuatan spiritualitas Syiah.
Jika hari ini kita menyaksikan sejumlah konflik antara Sunni dan Syiah di sejumlah negara, hal ini tidak lain merupakan kelanjutan luka dan "dendam" lama yang tidak pernah pudar di hati masing-masing, dan sepertinya terus diwariskan kepada generasi berikutnya.
Hanya saja, isu konflik bukan lagi persoalan politik, tetapi memasuki wilayah teologi (keyakinan). Orang Syiah dianggap memiliki keyakinan (rukun iman) yang berbeda dengan kebanyakan Islam sunni lainnya, karenanya dipandang sesat.
Fenomena perbedaan rumusan ini tampak pada bangunan rukun iman Syi'ah. Mazhab teologi ini memiliki lima rukun iman yang sedikit berbeda dengan mazhab teologi Sunni, yaitu: (a) tauhid, (b) nubuwah, (c) al-ma'ad, (d) al-adl, dan (e) imamah. Dalam hal ini, tampaknya Syi'ah tidak menyebut butir-butir kepercayaan kepada para malaikat, kitab dan qada-qadar seperti yang terdapat dalam prinsip keimanan masyarakat Sunni.
Quraish Shihab menyatakan hanya terdapat tiga prinsip dasar akidah Syi'ah yaitu (a) tauhid, (b) kenabian, dan (c) hari akhir. Meski demikian, bukan berarti mereka tidak percaya kepada malaikat atau kitab-kitab, tetapi komponen itu bukan sistematika yang dirumuskan menjadi prinsip rukun iman tersebut. Ini berarti, secara prinsipil tidak terdapat perbedaan akidah yang mendasar antara Sunni dan Syiah.
Upaya Harmonisasi
Upaya menyatukan Sunni-Syiah sebenarnya sudah pernah digagas. Muktamar tokoh Sunni-Syiah yang menghadirkan delapan negara Islam, 21 Oktober 2006 menghasilkan apa yang disebut "Deklarasi Mekkah" yang berisi antara lain; (a) kedua mazhab ini sepakat saling mengakui dan saling memuliakan, (b) melarang saling memanggil kafir, karena muslim berarti siapa saja yang bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan-Nya, (c) tidak boleh menghancurkan rumah ibadah atau fasilitas lainnya, (d) menghindari provokasi yang dapat menyulut konflik, (e) Sunni-Syiah bersatu dalam menentang kezaliman, penjajahan dan ketidakadilan.
Demikian pula konferensi internasional pemimpin Islam, 3-4 April 2007 di Bogor sempat membicarakan tentang rekonsiliasi Sunni-Syiah sekaitan dengan konflik Irak. Salah seorang mufti Suriah yang beraliran Sunni bahkan berkata: "Jika Syiah bermakna penantangan terhadap arogansi Amerika, maka kita semua adalah Syiah, dan jika Sunni bermakna menentang kezaliman Israel atas Palestina, maka kita semua adalah Sunni".
Dari ungkapan ini dipahami bahwa kedua mazhab teologi ini sesungguhnya memiliki misi yang sama. Hanya saja deklarasi dan konferensi ini tampaknya belum dijadikan rujukan bagi pengikut keduanya, sehingga konflik masih tetap berlanjut hingga hari ini.
Sikap keberagamaan yang masih bersifat dogmatis sangat labil untuk digunakan sebagai kuda tunggangan guna mencapai maksud-maksud tertentu, yang boleh jadi bertentangan dengan ajaran agama. Pemeluk agama kadang-kadang belum mampu membedakan antara ajaran agama dengan budaya yang mengitarinya, bahkan pada umumnya, mereka menilai agama atau mazhab seseorang yang berbeda dengan agama/mazhabnya, dengan pendekatan dan perspektif keyakinanyang dianutnya sebagai kerangka acuan. Akibatnnya lahirnya konflik di antara umat beragama.
Mengatasi konflik yang disebabkan kekurangpahaman mengenai ajaran-ajaran agama yang dianut umat manusia, salah satu alternatif pemecahannya ialah bahwa setiap pemeluk agama harus membangun kesadaran berteologis dan bermazhab dan memiliki pengetahuan yang cukup tentang berbagai agama yang dianut oleh umat beragama.
Islam merupakan agama yang sangat menghargai keragaman, baik paham maupun budaya. Penghargaan Islam yang demikian menyebabkan Islam tampil dengan bermacam-macam wajah keluhurannya yang bercorak lokal, terutama di Indonesia.
Para tokoh agama dari semua mazhab teologi harus memberikan penyadaran kepada masyarakat pentingnya saling menyapa dan bersesama. Sudah saatnya kedua pengikut mazhab ini melupakan luka sejarah masa lalu.
Indonesia khususnya harus menjadi model keberagamaan yang baik yang dapat dicontoh oleh negara lain. Karena itu, kesadaran berteologi melalui pendekatan pemahaman yang pluralis-dialogal menjadi sangat penting, agar kedua mazhab besar ini (Sunni-Syiah) dapat hidup bersama dan saling bergandengan tangan.(*)
Oleh;
Barsihannor
Dosen Pemikiran Islam UIN Alauddin Makasar
Penulis : Aldy
Editor : Aldy
Sumber : Tribun Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar