Selasa, 11 Desember 2012

Antara Langit Suci dan Bumi Berserakan: Tentang Sastra, Agama, dan Religiusitas

Oleh Prof. Dr. Faruk, S.U (Guru Besar Sastra UGM)
1. Latar Belakang

                Hingga sekarang hubungan antara sastra, atau bahkan seni pada umumnya, dengan agama bisa dikatakan problematik. Sebagai misal, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa di dalam agama Islam terdapat ajaran yang melarang umat agama itu untuk menggambar makhluk hidup dan memperlihatkan semacam “sikap bermusuhan” terhadap penyair. Memang terbuka kemungkinan banyak tafsir terhadap ajaran yang demikian. Namun, harus pula diakui bahwa ajaran serupa itu mempunyai penganut yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Memang di dalam Islam terdapat tradisi bersastra yang panjang. Hanya saja, tradisi itu lebih
berkaitan dengan sekelompok penganut yang khusus, yang berjumlah tidak terlalu banyak, yaitu kaum sufi. Atau, terkait dengan tradisi setempat seperti tradisi Parsian. Kecenderungan yang sama terjadi pula dalam wacana kesastraan. Di dalamnya tidak jarang ditemukan sikap yang seakan sangat waspada terhadap kemungkinan hubungan antara sastra dengan agama. Dengan asumsi bahwa sastra merupakan aktivitas kreatif yang menuntut kebebasan sebagai prasyaratnya, agama cenderung dianggap sebagai kekuatan doktrinal yang abstrak, statis, formalistik, yang berpotensi menghambat tumbuh dan berkembangnya kreativitas dalam kehidupan sastra.
                Sebagai jalan tengah dari polarisasi seperti di atas, yang memungkinkan terjalinnya hubungan yang, katakanlah, mesra, saling mendukung antara sastra dengan agama itu, diambillah konsep religi, religius, religiusitas. Mangunwijaya (1988: 12) merumuskan perbedaan antara keduanya sebagai berikut.
“Agama lebih menunjuk kepada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan atau kepada “Dunia Atas” dalam aspeknya yang resmi, yuridis, peraturan-peraturan dan hukum-hukumnya, serta keseluruhan organisasi tafsir Alkitab dan sebagainya yang melingkupi segi-segi kemasyarakatan (Gesselschaft, bahasa Jerman). Religiusitas lebih melihat aspek yang di dalam “lubuk hati”, riak getaran hati nurani pribadi, sikap personal yang sedikit banyak misteri bagi orang lain, karena menapaskan intimitas jiwa, “ducoeur” dalam arti Pascal, yakni citarasa yang mencakup totalitas (termasuk rasio dan rasa manusiawi) kedalaman si pribadi manusia. Dan karena itu, pada dasarnya religiusitas mengatasi, atau lebih dalam dari agama yang tampak, formal, resmi. Religiusitas lebih bergerak dalam tata paguyuban (Gemeinschaft) yang cirinya lebih intim.”
Dengan cara demikian, terutama dalam kaitannya dengan gagasan mengenai ketuhanan, hubungan antara sastra dengan agama dijembatani oleh apa yang disebut religiusitas di atas sebagaimana yang mungkin dapat digambarkan sebagai berikut.

        INTIMASI  ----------------------------------------------------- KEBERJARAKAN



                    SASTRA-------------------->  RELIGIUSITAS <----------------------AGAMA

Perhatikan puisi “Sorga” dari Chairil Anwar di bawah ini.
SORGA
buat Basuki Resobowo

Seperti ibu + nenekku juga
tambah tujuh keturunan yang lalu
aku minta pula supaya sampai di sorga
yang kata Masyumi + Muhammadiyah bersungai susu
dan bertabur bidari beribu

Tapi ada suara menimbang dalam diriku,
nekat mencemooh: Bisakah kiranya
berkering dari kuyup laut biru,
gamitan dari tiap pelabuhan gimana?
Lagi siapa bisa mengatakan pasti
di situ memang ada bidadari
suaranya berat menelan seperti Nina, punya kerlingnya Jati?

Dalam puisi itu kita temukan dua “sorga”, yaitu yang ada di sana, yang berjarak, yang diterima dari agama dan yang telah menjadi konvensi atau tradisi masyarakat, sebuah kolektivitas yang abstrak, dengan yang ada di sini, yang dihayati secara personal/individual, yang terikat pada ruang dan waktu, di sini dan saat ini. Si penyair, melalui puisi tersebut, cenderung lebih menyukai sorga yang kedua, yang intim dengannya, daripada sorga yang pertama. Bila diamati lebih jauh, keberpihakan pada yang intim itu tidak hanya berlaku pada diri si penyair sebagai pribadi saja, melainkan merupakan sebuah kecenderungan umum pada apa yang dinamakan sastra itu sendiri.
                Jelas terlihat dalam puisi itu adanya hubungan yang saling bertolak-belakang antara sastra dengan agama. Hanya saja, bila diperhatikan puisi lain di bawah ini, yang merupakan hasil ciptaan dari penyair yang sama, hubungan antara keduanya justru memperlihatkan kecenderungan sebaliknya, bergerak ke arah yang sama, saling mendukung.
DOA

Tuhanku
dalam termangu
aku masih menyebut namaMu

biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh

cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk

Tuhanku
aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
di pintuMu aku mngetuk
aku tidak bisa berpaling

                Biarpun tidak menunjuk kepada agama tertentu, tidak akan ada agama yang mengatakan bahwa puisi yang menggambarkan hubungan yang sangat dekat dengan tuhan itu sebagai sesuatu yang bertentangan dengannya. Bukan tidak mungkin semua umat beragama berusaha mencapai keadaan sebagaimana yang dialami oleh “aku” dalam puisi di atas. Dengan kata lain, dengan model puisi di atas dapat dikatakan bahwa sastra tidak bertentangan dengan agama. Keduanya dipertemukan oleh religiusitas, penghayatan personal yang intim akan ketuhanan yang menjadi pusat orientasi dari seluruh bangunan formal dari institusi keagamaan. Yang kemudian menjadi masalah adalah bahwa pendekatan seperti yang digunakan Mangunwijaya di atas masih membuka ruang yang bisa sangat luas bagi pertentangan antara agama dengan sastra sebagaimana yang tampak dalam puisi pertama. Karena itu, diperlukan satu pendekatan yang lain, yang mungkin bisa lebih memperdekat hubungan antara keduanya, misalnya pendekatan sosiologi fenomenologis sebagaimana yang pernah saya gunakan dalam tulisan saya yang berjudul “Sastra sebagai Produk dan Produsen Kebudayaan”.

2. Antara Ketuhanan dan Kemanusiaan
                Dalam pandangan sosiologi fenomenologis, khususnya Berger dan Luckman, manusia adalah makhluk yang belum selesai dibandingkan dengan binatang. Binatang lahir lengkap dengan habitat dan kemampuan adaptasi dengan habitat itu, sedangkan manusia adalah makhluk yang terbuka yang hidup tidak dengan habitat yang spesifik dan harus membentuk dan mengembangkan sendiri kemampuannya untuk menyesuaikan diri dengan habitat itu. Dalam rangka itulah manusia menciptakan sebuah tatanan sosial yang spesifik sebagai habitatnya dan membentuk diri dan kemampuan adaptasinya dengan tatanan sosial itu.
                Tatanan sosial itu bersifat historis, yaitu terikat pada ruang dan waktu tertentu. Tatanan sosial di Makasar berbeda dari tatanan sosial di Jawa, tatanan sosial Makasar pada masa lalu berbeda dari masa sekarang. Namun, tentu saja manusia tidak ingin tatanan selalu berubah. Mereka membutuhkan keajegan, kepastian agar hidup bisa lebih mudah dijalani. Karena itu, manusia menciptakan berbagai cara untuk membuat tatanan sosial yang historis itu tetap abadi, tidak mudah berubah dan diubah. Untuk itu, mereka menjadikan realitas yang semula subjektif menjadi objektif, yang internal menjadi eksternal. Salah satunya adalah dengan menciptakan sebuah gagasan mengenai dunia supernatural yang tidak hanya memberikan legitimasi dari keberadaan tatanan sosial itu, melainkan juga digambarkan sebagai bersumber darinya, bukan dari manusia itu sendiri. Mitos biasanya berkaitan dengan narasi mengenai asal-usul tatanan sosial tersebut. Karena dunia supernatural itu digambarkan sebagai dunia yang lebih besar, lebih luas, lebih universal, dan berada di luar jangkauan manusia, manusia pun tidak bisa mengubah tatanan sosial yang sebenarnya ciptaan yang sifatnya historis di atas, tatanan yang sesungguhnya dapat diubah itu. Agama, dalam hal ini, dipahami sebagai payung atau langit suci, yang membuat tatanan sosial juga menjadi suci/sakral.
                Tatanan sosial pada dasarnya adalah kodifikasi kehidupan manusia dan hubungan mereka dengan sesama atapun dengan lingkungan alamiah dan kultural sekitarnya. Kodifikasi itu berupa sistem tanda yang dapat dianggap sebagai media bagi manusia dalam memahami diri, orang lain, dan lingkungannya di atas. Agama merupakan sistem  tanda/makna pula, hanya saja yang ada di atas dan melampaui sistem makna, kode-kode kehidupan sosial di atas, yang universal, tidak terbatas. Tuhan adalah zat yang melampaui segala kode sosial, yang lepas dari jangkauan pemahaman manusia. Kalaupun terkodifikasi, ia mempunyai kodifikasi tersendiri, mempunyai bahasa sendiri, “bahasa cinta” dalam pengertian suatu agama. Di hadapan Tuhan, agama, langit tersebut, sastra memperlihatkan posisi yang berkebalikan, yaitu sebagai “bumi” yang mengajak manusia menghayati kehidupan dalam keberadaannya yang paling langsung, paling intim, tanpa mediasi kodifikasi apa pun. Wilayah sastra adalah wilayah dunia yang paling partikular, yang ada sebelum adanya kode dan/atau generalisasi. Sebagai yang ada sebelum kode, wilayah sastra pun, seperti halnya Tuhan, adalah wilayah yang takterpahami oleh kode-kode sosial yang berlaku.
                “Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis memperlihatkan pertalian yang rumit dalam hal ini. Sebagai kekuatan universal yang melampaui ruang dan waktu, Tuhan berada di atas dan melampaui dunia sosial yang sifatnya historis, di sini dan kini. Karena itu, untuk mendekatkan diri dengannya, mendapatkan sorganya, seorang kakek yang bernama Garin memutuskan melepaskan seluruh kehidupan duniawi, kehidupan sosial dengan hanya berzikir untuk mengingat dan memberikan pujian-pujian terhadapNYa. Namun, sebagai kekuatan maha semesta yang luas, yang tak seorang pun bisa dan boleh berusaha memahaminya, yang tak seorang pun bisa dan boleh menebak kehendaknya, Tuhan ternyata berkehendak lain, yaitu menuntut Garin untuk kembali ke dalam kehidupan duniawinya, bertanggung jawab terhadap lingkungan hidup sekitarnya, terutama keluarganya, apabila orang tua tersebut ingin mendapatkan sorgaNya.
                Tapi, benarkah yang terakhir tersebut benar-benar merupakan kehendak Tuhan? Tunggu dulu. Cerita mengenai kehendak Tuhan tersebut berasal dari seorang lelaki yang bernama Ajosidi, seorang yang dikenal sebagai pembual, tetapi sekaligus seorang yang bualannya selalu terasa nyata dan “mengena”. Dalam posisi pencerita yang demikian, kebenaran dari apa yang dituturkannya menjadi problematik. Apakah Ajosidi seorang pembual, ceritanya mengenai kehendak Tuhan tersebut tidak lebih daripada kebohongan belaka. Namun, apabila ia adalah pembual yang bualannya selalu mengena, tuturannya bisa dianggap sebagai sebuah kebenaran. Setidaknya ada dua hal yang memungkinkan adanya kebenaran cerita tersebut. Pertama, cerita itu sungguh-sungguh mengena sehingga Garin tidak hanya tidak bisa membantahnya, melainkan bahkan “mempercayai”-nya. Kepercayaan Garin itulah yang akhirnya membawa si kakek pada keputusan untuk membunuh dirinya sendiri. Kedua, Ajosidi sendiri tidak hanya membual, tapi mengamalkannya. Ia digambarkan sebagai seseorang yang sangat bertanggung jawab dalam melaksanakan kehidupan duniawinya. Karena itu, ia menjadi orang yang mampu secara ekonomi tanpa kehilangan rasa solidaritas terhadap orang lain. Ajosidi memberikan kain kapan untuk Garin. Hanya saja, karena kesibukannya, ia tidak dapat melayat, berkunjung langsung ke upacara pemakaman Garin. Kain kapan itu sampai ke Garin melalui mediasi istrinya. Mediasi istri Ajosidi itulah yang mempertemukan (kembali) sang suami dengan si kakek.
                Tapi, mediasi itu pulalah yang membuat kebenaran apa yang dikatakan Ajosidi pun tetap problematik. Penutur utama dalam cerpen ini adalah “Aku”. Dari dirinyalah pembaca memperoleh informasi mengenai keseluruhan isi dunia cerita. Ia bisa dianggap sebagai pusat cerita karena tanpanya tak akan ada cerita. Karena itu, ia bisa dianggap sebagai tempat adanya kebenaran dalam cerita tersebut. Hanya saja, yang kemudian menjadi masalah adalah sikap “Aku” yang cenderung ambigu terhadap Ajosidi. Di satu pihak, ia sejak awal mengatakan bahwa Ajosidi seorang pembual, tetapi di lain pihak ia juga mengatakan bahwa ia suka mendengarkan bualan pedagang tersebut karena bualannya selalu mengena. Ia tidak menyangkal kebenaran cerita Ajosidi mengenai kehendak Tuhan di atas. Akan tetapi, ia menyebutkan pula bahwa bualan itu keterlaluan sehingga menyebabkan kematian Garin. Ia mengakui kebaikan hati Ajosidi yang sudah bersedia memberikan sumbangan kain kapan untuk si kakek, tetapi ia juga menyesalkan ketidakhadiran langsung si pembual tersebut dalam upacara pemakaman orang yang kematiannya berkaitan dengan pembual tersebut.
                Bila Garin dapat kita tempatkan sebagai bagian atau representasi dari tradisi Zabariah dan Ajosidi sebagai bagian atau representasi dari tradisi Qodariah, kedua-duanya dapat dianggap sebagai sebuah produk dari kodifikasi sosial-keagamaan dalam pemahaman mengenai kehendak Tuhan yang maha luas, yang tak akan dapat dan bahkan tak akan boleh dijangkau itu. Karena itu, keduanya menjadi tak dapat menghindari dari keterbatasan. Batas dari Zabariah, dari cara pemahaman si kakek adalah Ajosidi, sedangkan batas dari Qodariah, dari cara pemahaman Ajosidi adalah “Aku”. Dan, siapakah si Aku itu, bagian dari apa dia, merepresentasikan apa?
                “Aku”, dalam cerita itu, bisa dikatakan sebagai bagian yang paling penting yang tanpanya keseluruhan bagian dari isi dunia cerita itu tidak ada. Ia benar-benar merupakan pusat dalam posisi yang demikian. Namun, sebagai pusat, sebagai kekuatan yang ada di mana-mana, “Aku” dapat pula dianggap berdiri di luar cerita, bukan bagian dari cerita. Aku bersifat tanpa bentuk, tanpa aliran, tanpa tradisi, tanpa cara pandang. Sebagai penggemar bualan Ajosidi, ia berada dalam bualan itu dan menempatkannya sebagai satu-satunya kebenaran sehingga menyebutnya sebagai “mengena”. Namun, sebagai sesuatu yang ada di luar bualan itu, ia dapat melihat ketidakbenarannya, menyebutnya sebagai “bualan”. Aku juga bisa berpihak pada Ajosidi, bisa juga berpihak pada Garin sebagaimana yang sudah dikemukakan.
                Dengan posisi mendua yang demikian, “Aku” dapat dianggap sebagai representasi dari sesuatu yang ada di luar segala bentuk kodifikasi, menjadi sosok tanpa bentuk. Hal demikian tidak dengan sendirinya berarti bahwa apa yang direpresentasikannya tidak bisa diidentifikasi. Di dalam cerita ditemukan bukti-bukti bahwa “Aku” sebenarnya berpihak pada kemanusiaan dalam pengertian pada manusia dalam keberadaannya yang paling langsung, yang lepas dari segala bentuk kodifikasi. Garin boleh salah, tetapi Ajosidi tidak boleh “keterlaluan” dalam menyalahkannya, tidak boleh mengakibatkan Garin dalam posisi yang begitu sengsara dan menderita bahkan sampai meninggal dunia. Sebagai manusia ia tetap harus dihargai dan dihormati. Ajosidi boleh baik hati dengan memberikan sumbangan kain kapan bagi pemakaman Garin. Namun, kebaikan itu tidak cukup. Orang mati tidak hanya membutuhkan segala perlengkapan dari sistem upacara pemakaman yang mekanistik, melainkan juga membutuhkan kehadiran personal, keberadaan yang langsung, sebagai ungkapan penghargaan terhadap dirinya. Kemanusiaan yang demikianlah yang menjadi orientasi dari karya sastra. “Aku”, dengan demikian, merepresentasikan sastra itu sendiri.
               
3. Fungsi Kritis Agama dan Sastra
                Sebagai representasi dari ketuhanan dan kemanusiaan yang bersifat universal, yang melampaui segala bentuk kodifikasi sosial dan kultural, agama dan sastra dapat menjalankan fungsi kritis terhadap tatanan sosial yang terkodifikasikan itu. Dengan melihatnya dari perspektif yang lain, bukan lagi fenomenologis, melainkan kritis dan pasca-strukturalis, segala bentuk kodifikasi terhadap kenyataan hidup pada dasarnya adalah sebuah reduksi, sebuah eksklusi, yang dapat menjadi semacam naturalisasi dari proses sosial yang bersifat kultural, universalisasi dari proses sosial yang bersifat partikular, historis, legitimasi bagi relasi dominasi dan marginalisasi yang ada dalam kehidupan masyarakat tertentu, dalam ruang dan waktu tertentu. Untuk menghindari kecenderungan yang kemudian ini, untuk mencegah berkelanjutannya dominasi dan marginalisasi serta eksklusi itulah diperlukan kekuatan-kekuatan yang bersifat universal, yang berada sistem kodifikasi itu. Agama dan sastra, sebagaimana yang sudah dikemukakan di atas, merupakan dua dari sekian kekuatan yang demikian.
                Sebagai misal, ketika ajaran agama menyatakan bahwa “semua manusia sama di hadapan Tuhan”, ajaran itu telah menjalankan fungsi kritisnya terhadap segala bentuk kodifikasi kehidupan, segala tatanan sosial yang bersifat diskriminatif dan hierarkis, segala bentuk relasi sosial yang timpang, tidak berkeadilan. Fungsi Tuhan dalam ajaran tersebut adalah sebagai kekuatan yang menihilkan semua tatanan yang tidak demokratis, membatalkannya, dan menghapuskan legitimasi adikodrati terhadapnya. Ketika ajaran lain dari agama, sebagaimana yang seringkali disampaikan oleh ustad ataupun pendakwah, selalu mengingatkan manusia bahwa mereka pada akhirnya akan mati dan kematian tidak bisa diramalkan, dan bahwa dalam kehidupan sesudah mati yang diperlukan lagi harta benda kecuali amal sholeh dan doa anak yang sholeh, ajaran itu mendelegitimasi tata kehidupan masyarakat yang semakin materialistik dan materialisme yang menjadi dasar bagi tertentuknya relasi sosial yang tidak setara dan tidak berkeadilan. Kematian memberikan janji bahwa yang bisa mendapatkan akses bagi kesenangan hidup sorgawi tidak hanya mereka yang berkelimpahan secara material, melainkan semua orang sejauh ia mempunyai banyak simpanan amal/kebajikan dan doa anak yang sholeh. Di hadapan kematian dan kehidupan sesudah mati yang universal itu segala bentuk kodifikasi sosial yang bersifat historis menjadi batal atau ternihilkan.
                Kumpulan cerpen Umar Kayam yang berjudul Sri Sumarah dan Bawukmengandung cerita yang syarat dengan nilai kemanusiaan yang universal, yang di dalamnya nilai kehidupan manusia ditentukan dari persentuhan antarmanusia yang bersifat langsung, tanpa mediasi, tanpa kodifikasi. Kemanusiaan yang demikian terutama digunakan untuk menihilkan segala bentuk kodifikasi yang menempatkan dua manusia dan dua kelompok manusia, yaitu mereka yang disebut sebagai komunis dan anti-komunis, yang PKI dengan yang bukan-PKI dalam susunan yang hierarkis dan diskriminatif.  Dalam tingkat hubungan yang sangat intim, personal, langsung seperti hubungan suami dengan istri, orang tua dengan anak, kodifikasi yang demikian menjadi batal. Sri Sumarah tidak dapat membuang dan mengabaikan anak dan menantunya yang terjaring ke dalam pengelompokan sosial yang memarginalisasikan dan bahkan cenderung berusaha menghapuskan/meniadakan keberadaan sekelompok orang yang dianggap sebagai anggota PKI. Bawuk bertekad untuk tetap mengikuti suaminya walaupun suaminya itu termasuk ke dalam organisasi yang menurut sisten kodifikasi yang ada dianggap terlarang.
                Karena baik ketuhanan maupun kemanusiaan itu tanpa bentuk, berada di luar jangkauan segala sistem kodifikasi, fungsi kritisnya tidak bermuara pada tawaran sebuah sistem kodifikasi yang baru secara khusus. Fungsi kritis itu hanya berjalan sebagai kekuatan untuk mencairkan tatanan sosial yang ada untuk kemudian membuka jalan bagi kemungkinan tatanan sosial yang baru yang lebih baik walaupun tidak ditentukan sebelumnya.  Puisi “Sorga” Chairil Anwar berakhir hanya dengan pertanyaan, sedangkan puisi “Doa”-nya berakhir dengan pernyataan bahwa “Aku tak bisa berpaling”,sebuah posisi yang ada di antara “keinginan berpaling” dengan “tak bisa berpaling”, posisi “pintu” yang ada di antara ruang di luar dan di dalam “rumah Tuhan”. Dengan posisi yang demikianlah sastra dan agama memberikan peluang pembebasan yang sesuai dengan titik berangkat masing-masing, yaitu sesuatu yang ada di luar segala sistem kodifikasi.

4. Agama dan Sastra sebagai Produk dan Produsen Kebudayaan
                Meskipun merepresentasikan Tuhan atau ketuhanan yang universal, tanpa bentuk, tak terkodifikasikan, agama tetaplah suatu bentuk, sebuah sistem kodifikasi. Hal inilah yang membuat Mangunwijaya, seperti yang sudah dikemukakan, membedakannya dari religiusitas. Hal ini pula yang menyebabkan terjadinya pertentangan antara “sorga” agama dengan “sorga” “aku” dalam puisi Chairil di atas, pertentangan antara “aku”, baik dengan Garin maupun dengan Ajosidi. Agama, dalam hal yang demikian, berkedudukan sebagai produk kebudayaan yang terbatas, historis, yang dipertentangkan dengan kemanusiaan yang tidak terbatas, universal. Meskipun demikian, sebagai representasi dari ketuhanan yang tidak terbatas, sistem kodifikasi agama mempunyai ciri khas, yaitu yangberani memikul “kayu salib”, menghadapi kontradiksi dalam dirinya sendiri. Di satu pihak agama menjanjikan sorga bagi orang yang mengikuti prosedur-prosedur formal keagamaan, tetapi di lain pihak ia juga menihilkan janji itu melalui ajarannya yang lain, yang lebih mengutamakan tauhid, keimanan, kecintaan pada Tuhan secara tanpa pamrih, tanpa membangun harapan akan terpenuhinya janji-janji itu karena kehendak Tuhan tidak bisa diramalkan, tak bisa dan tak boleh disentuh oleh pemahaman, sesuatu yang suci. Dengan kata lain, meskipun prosedur formal keagamaan bertentangan dengan religiusitas, religiusitas sebenarnya merupakan bagian dari ajaran keagamaan itu sendiri, bukan sesuatu yang ada di luar dirinya. Dari sisi religiusitas inilah agama menjalankan fungsi kritisnya, menjadi produsen kebudayaan.
                Kecenderungan yang sama terjadi pula pada sastra. Sastra bersandar pada kemanusiaan sebagai dunia penghayatan yang lansung ada sebelum terbentuknya kodifikasi, sesuatu yang membumi. Dalam posisi yang demikian sastra mempunyai potensi untuk menjalankan fungsi kritisnya terhadap segala bentuk kodifikasi, menjalankan fungsinya sebagai produsen kebudayaan. Meskipun demikian, dalam menjalankan fungsi kritisnya yang demikian, sastra juga bergantung pada sistem kodifikasi yang ada, yaitu bahasa. Sastra melawan bahasa dengan bahasa, melawan sistem kodifikasi dengan sistem kodifikasi. Hanya saja, dalam kebergantungannya itu sastra, sebagai representasi kemanusiaan yang tanpa bentuk, berusaha melakukan destruksi terhadap bahasa, melakukan defamiliarisasi dalam pengertian Formalis Rusia, berbicara secara tidak langsung, mengatakan sesuatu dengan maksud yang lain sebagaimana yang dikemukan dalam semiotika pusinya Riffaterre. Sifat destruktifnya itulah yang membuat sastra menjadi ambigu, berani menghadapi kontradiksi dalam dirinya sendiri seperti agama di atas, menyampaikan pesan tanpa pesan. Sastra adalah wacana dengan pesan yang berserakan, membuka jalan bagi tafsir yang plural secara sadar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar