1. Latar
Belakang
Hingga
sekarang hubungan antara sastra, atau bahkan seni pada umumnya, dengan agama
bisa dikatakan problematik. Sebagai misal, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa
di dalam agama Islam terdapat ajaran yang melarang umat agama itu untuk
menggambar makhluk hidup dan memperlihatkan semacam “sikap bermusuhan” terhadap
penyair. Memang terbuka kemungkinan banyak tafsir terhadap ajaran yang
demikian. Namun, harus pula diakui bahwa ajaran serupa itu mempunyai penganut
yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Memang di dalam Islam terdapat tradisi
bersastra yang panjang. Hanya saja, tradisi itu lebih
berkaitan dengan sekelompok penganut yang khusus, yang berjumlah tidak terlalu banyak, yaitu kaum sufi. Atau, terkait dengan tradisi setempat seperti tradisi Parsian. Kecenderungan yang sama terjadi pula dalam wacana kesastraan. Di dalamnya tidak jarang ditemukan sikap yang seakan sangat waspada terhadap kemungkinan hubungan antara sastra dengan agama. Dengan asumsi bahwa sastra merupakan aktivitas kreatif yang menuntut kebebasan sebagai prasyaratnya, agama cenderung dianggap sebagai kekuatan doktrinal yang abstrak, statis, formalistik, yang berpotensi menghambat tumbuh dan berkembangnya kreativitas dalam kehidupan sastra.
berkaitan dengan sekelompok penganut yang khusus, yang berjumlah tidak terlalu banyak, yaitu kaum sufi. Atau, terkait dengan tradisi setempat seperti tradisi Parsian. Kecenderungan yang sama terjadi pula dalam wacana kesastraan. Di dalamnya tidak jarang ditemukan sikap yang seakan sangat waspada terhadap kemungkinan hubungan antara sastra dengan agama. Dengan asumsi bahwa sastra merupakan aktivitas kreatif yang menuntut kebebasan sebagai prasyaratnya, agama cenderung dianggap sebagai kekuatan doktrinal yang abstrak, statis, formalistik, yang berpotensi menghambat tumbuh dan berkembangnya kreativitas dalam kehidupan sastra.
Sebagai
jalan tengah dari polarisasi seperti di atas, yang memungkinkan terjalinnya
hubungan yang, katakanlah, mesra, saling mendukung antara sastra dengan agama
itu, diambillah konsep religi, religius, religiusitas. Mangunwijaya (1988: 12)
merumuskan perbedaan antara keduanya sebagai berikut.
“Agama lebih
menunjuk kepada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan atau kepada “Dunia Atas”
dalam aspeknya yang resmi, yuridis, peraturan-peraturan dan hukum-hukumnya, serta
keseluruhan organisasi tafsir Alkitab dan sebagainya yang melingkupi segi-segi
kemasyarakatan (Gesselschaft, bahasa Jerman). Religiusitas lebih melihat aspek
yang di dalam “lubuk hati”, riak getaran hati nurani pribadi, sikap personal
yang sedikit banyak misteri bagi orang lain, karena menapaskan intimitas jiwa,
“ducoeur” dalam arti Pascal, yakni citarasa yang mencakup totalitas (termasuk
rasio dan rasa manusiawi) kedalaman si pribadi manusia. Dan karena itu, pada
dasarnya religiusitas mengatasi, atau lebih dalam dari agama yang tampak,
formal, resmi. Religiusitas lebih bergerak dalam tata paguyuban (Gemeinschaft)
yang cirinya lebih intim.”
Dengan cara demikian, terutama
dalam kaitannya dengan gagasan mengenai ketuhanan, hubungan antara sastra
dengan agama dijembatani oleh apa yang disebut religiusitas di atas sebagaimana
yang mungkin dapat digambarkan sebagai berikut.
INTIMASI
-----------------------------------------------------
KEBERJARAKAN
SASTRA--------------------> RELIGIUSITAS <----------------------AGAMA
Perhatikan puisi “Sorga” dari
Chairil Anwar di bawah ini.
SORGA
buat Basuki Resobowo
Seperti ibu + nenekku juga
tambah tujuh keturunan yang lalu
aku minta pula supaya sampai di sorga
yang kata Masyumi + Muhammadiyah bersungai susu
dan bertabur bidari beribu
Tapi ada suara menimbang dalam diriku,
nekat mencemooh: Bisakah kiranya
berkering dari kuyup laut biru,
gamitan dari tiap pelabuhan gimana?
Lagi siapa bisa mengatakan pasti
di situ memang ada bidadari
suaranya berat menelan seperti Nina, punya kerlingnya
Jati?
Dalam puisi itu kita temukan dua “sorga”, yaitu yang ada di sana, yang
berjarak, yang diterima dari agama dan yang telah menjadi konvensi atau tradisi
masyarakat, sebuah kolektivitas yang abstrak, dengan yang ada di sini, yang
dihayati secara personal/individual, yang terikat pada ruang dan waktu, di sini
dan saat ini. Si penyair, melalui puisi tersebut, cenderung lebih menyukai
sorga yang kedua, yang intim dengannya, daripada sorga yang pertama. Bila
diamati lebih jauh, keberpihakan pada yang intim itu tidak hanya berlaku pada
diri si penyair sebagai pribadi saja, melainkan merupakan sebuah kecenderungan
umum pada apa yang dinamakan sastra itu sendiri.
Jelas terlihat dalam
puisi itu adanya hubungan yang saling bertolak-belakang antara sastra dengan
agama. Hanya saja, bila diperhatikan puisi lain di bawah ini, yang merupakan
hasil ciptaan dari penyair yang sama, hubungan antara keduanya justru memperlihatkan
kecenderungan sebaliknya, bergerak ke arah yang sama, saling mendukung.
DOA
Tuhanku
dalam termangu
aku masih menyebut namaMu
biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam
sunyi
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
di pintuMu aku mngetuk
aku tidak bisa berpaling
Biarpun tidak
menunjuk kepada agama tertentu, tidak akan ada agama yang mengatakan bahwa
puisi yang menggambarkan hubungan yang sangat dekat dengan tuhan itu sebagai
sesuatu yang bertentangan dengannya. Bukan tidak mungkin semua umat beragama
berusaha mencapai keadaan sebagaimana yang dialami oleh “aku” dalam puisi di
atas. Dengan kata lain, dengan model puisi di atas dapat dikatakan bahwa sastra
tidak bertentangan dengan agama. Keduanya dipertemukan oleh religiusitas,
penghayatan personal yang intim akan ketuhanan yang menjadi pusat orientasi
dari seluruh bangunan formal dari institusi keagamaan. Yang kemudian menjadi
masalah adalah bahwa pendekatan seperti yang digunakan Mangunwijaya di atas
masih membuka ruang yang bisa sangat luas bagi pertentangan antara agama dengan
sastra sebagaimana yang tampak dalam puisi pertama. Karena itu, diperlukan satu
pendekatan yang lain, yang mungkin bisa lebih memperdekat hubungan antara
keduanya, misalnya pendekatan sosiologi fenomenologis sebagaimana yang pernah
saya gunakan dalam tulisan saya yang berjudul “Sastra sebagai Produk dan
Produsen Kebudayaan”.
2. Antara Ketuhanan dan
Kemanusiaan
Dalam pandangan
sosiologi fenomenologis, khususnya Berger dan Luckman, manusia adalah makhluk
yang belum selesai dibandingkan dengan binatang. Binatang lahir lengkap dengan
habitat dan kemampuan adaptasi dengan habitat itu, sedangkan manusia adalah
makhluk yang terbuka yang hidup tidak dengan habitat yang spesifik dan harus
membentuk dan mengembangkan sendiri kemampuannya untuk menyesuaikan diri dengan
habitat itu. Dalam rangka itulah manusia menciptakan sebuah tatanan sosial yang
spesifik sebagai habitatnya dan membentuk diri dan kemampuan adaptasinya dengan
tatanan sosial itu.
Tatanan sosial itu
bersifat historis, yaitu terikat pada ruang dan waktu tertentu. Tatanan sosial
di Makasar berbeda dari tatanan sosial di Jawa, tatanan sosial Makasar pada
masa lalu berbeda dari masa sekarang. Namun, tentu saja manusia tidak ingin
tatanan selalu berubah. Mereka membutuhkan keajegan, kepastian agar hidup bisa
lebih mudah dijalani. Karena itu, manusia menciptakan berbagai cara untuk
membuat tatanan sosial yang historis itu tetap abadi, tidak mudah berubah dan
diubah. Untuk itu, mereka menjadikan realitas yang semula subjektif menjadi
objektif, yang internal menjadi eksternal. Salah satunya adalah dengan
menciptakan sebuah gagasan mengenai dunia supernatural yang tidak hanya memberikan
legitimasi dari keberadaan tatanan sosial itu, melainkan juga digambarkan
sebagai bersumber darinya, bukan dari manusia itu sendiri. Mitos biasanya
berkaitan dengan narasi mengenai asal-usul tatanan sosial tersebut. Karena
dunia supernatural itu digambarkan sebagai dunia yang lebih besar, lebih luas,
lebih universal, dan berada di luar jangkauan manusia, manusia pun tidak bisa
mengubah tatanan sosial yang sebenarnya ciptaan yang sifatnya historis di atas,
tatanan yang sesungguhnya dapat diubah itu. Agama, dalam hal ini, dipahami
sebagai payung atau langit suci, yang membuat tatanan sosial juga menjadi
suci/sakral.
Tatanan sosial pada
dasarnya adalah kodifikasi kehidupan manusia dan hubungan mereka dengan sesama
atapun dengan lingkungan alamiah dan kultural sekitarnya. Kodifikasi itu berupa
sistem tanda yang dapat dianggap sebagai media bagi manusia dalam memahami
diri, orang lain, dan lingkungannya di atas. Agama merupakan sistem tanda/makna pula, hanya saja yang ada di atas
dan melampaui sistem makna, kode-kode kehidupan sosial di atas, yang universal,
tidak terbatas. Tuhan adalah zat yang melampaui segala kode sosial, yang lepas
dari jangkauan pemahaman manusia. Kalaupun terkodifikasi, ia mempunyai
kodifikasi tersendiri, mempunyai bahasa sendiri, “bahasa cinta” dalam
pengertian suatu agama. Di hadapan Tuhan, agama, langit tersebut, sastra
memperlihatkan posisi yang berkebalikan, yaitu sebagai “bumi” yang mengajak
manusia menghayati kehidupan dalam keberadaannya yang paling langsung, paling
intim, tanpa mediasi kodifikasi apa pun. Wilayah sastra adalah wilayah dunia
yang paling partikular, yang ada sebelum adanya kode dan/atau generalisasi.
Sebagai yang ada sebelum kode, wilayah sastra pun, seperti halnya Tuhan, adalah
wilayah yang takterpahami oleh kode-kode sosial yang berlaku.
“Robohnya Surau Kami”
karya A.A. Navis memperlihatkan pertalian yang rumit dalam hal ini. Sebagai
kekuatan universal yang melampaui ruang dan waktu, Tuhan berada di atas dan
melampaui dunia sosial yang sifatnya historis, di sini dan kini. Karena itu,
untuk mendekatkan diri dengannya, mendapatkan sorganya, seorang kakek yang
bernama Garin memutuskan melepaskan seluruh kehidupan duniawi, kehidupan sosial
dengan hanya berzikir untuk mengingat dan memberikan pujian-pujian terhadapNYa.
Namun, sebagai kekuatan maha semesta yang luas, yang tak seorang pun bisa dan
boleh berusaha memahaminya, yang tak seorang pun bisa dan boleh menebak
kehendaknya, Tuhan ternyata berkehendak lain, yaitu menuntut Garin untuk
kembali ke dalam kehidupan duniawinya, bertanggung jawab terhadap lingkungan
hidup sekitarnya, terutama keluarganya, apabila orang tua tersebut ingin
mendapatkan sorgaNya.
Tapi, benarkah yang
terakhir tersebut benar-benar merupakan kehendak Tuhan? Tunggu dulu. Cerita
mengenai kehendak Tuhan tersebut berasal dari seorang lelaki yang bernama
Ajosidi, seorang yang dikenal sebagai pembual, tetapi sekaligus seorang yang
bualannya selalu terasa nyata dan “mengena”. Dalam posisi pencerita yang
demikian, kebenaran dari apa yang dituturkannya menjadi problematik. Apakah
Ajosidi seorang pembual, ceritanya mengenai kehendak Tuhan tersebut tidak lebih
daripada kebohongan belaka. Namun, apabila ia adalah pembual yang bualannya
selalu mengena, tuturannya bisa dianggap sebagai sebuah kebenaran. Setidaknya
ada dua hal yang memungkinkan adanya kebenaran cerita tersebut. Pertama, cerita
itu sungguh-sungguh mengena sehingga Garin tidak hanya tidak bisa membantahnya,
melainkan bahkan “mempercayai”-nya. Kepercayaan Garin itulah yang akhirnya
membawa si kakek pada keputusan untuk membunuh dirinya sendiri. Kedua, Ajosidi
sendiri tidak hanya membual, tapi mengamalkannya. Ia digambarkan sebagai
seseorang yang sangat bertanggung jawab dalam melaksanakan kehidupan
duniawinya. Karena itu, ia menjadi orang yang mampu secara ekonomi tanpa
kehilangan rasa solidaritas terhadap orang lain. Ajosidi memberikan kain kapan
untuk Garin. Hanya saja, karena kesibukannya, ia tidak dapat melayat,
berkunjung langsung ke upacara pemakaman Garin. Kain kapan itu sampai ke Garin
melalui mediasi istrinya. Mediasi istri Ajosidi itulah yang mempertemukan
(kembali) sang suami dengan si kakek.
Tapi, mediasi itu
pulalah yang membuat kebenaran apa yang dikatakan Ajosidi pun tetap
problematik. Penutur utama dalam cerpen ini adalah “Aku”. Dari dirinyalah
pembaca memperoleh informasi mengenai keseluruhan isi dunia cerita. Ia bisa
dianggap sebagai pusat cerita karena tanpanya tak akan ada cerita. Karena itu,
ia bisa dianggap sebagai tempat adanya kebenaran dalam cerita tersebut. Hanya
saja, yang kemudian menjadi masalah adalah sikap “Aku” yang cenderung ambigu
terhadap Ajosidi. Di satu pihak, ia sejak awal mengatakan bahwa Ajosidi seorang
pembual, tetapi di lain pihak ia juga mengatakan bahwa ia suka mendengarkan
bualan pedagang tersebut karena bualannya selalu mengena. Ia tidak menyangkal
kebenaran cerita Ajosidi mengenai kehendak Tuhan di atas. Akan tetapi, ia
menyebutkan pula bahwa bualan itu keterlaluan sehingga menyebabkan kematian
Garin. Ia mengakui kebaikan hati Ajosidi yang sudah bersedia memberikan
sumbangan kain kapan untuk si kakek, tetapi ia juga menyesalkan ketidakhadiran
langsung si pembual tersebut dalam upacara pemakaman orang yang kematiannya
berkaitan dengan pembual tersebut.
Bila Garin dapat kita
tempatkan sebagai bagian atau representasi dari tradisi Zabariah dan Ajosidi
sebagai bagian atau representasi dari tradisi Qodariah, kedua-duanya dapat
dianggap sebagai sebuah produk dari kodifikasi sosial-keagamaan dalam pemahaman
mengenai kehendak Tuhan yang maha luas, yang tak akan dapat dan bahkan tak akan
boleh dijangkau itu. Karena itu, keduanya menjadi tak dapat menghindari dari
keterbatasan. Batas dari Zabariah, dari cara pemahaman si kakek adalah Ajosidi,
sedangkan batas dari Qodariah, dari cara pemahaman Ajosidi adalah “Aku”. Dan, siapakah
si Aku itu, bagian dari apa dia, merepresentasikan apa?
“Aku”, dalam cerita
itu, bisa dikatakan sebagai bagian yang paling penting yang tanpanya
keseluruhan bagian dari isi dunia cerita itu tidak ada. Ia benar-benar
merupakan pusat dalam posisi yang demikian. Namun, sebagai pusat, sebagai
kekuatan yang ada di mana-mana, “Aku” dapat pula dianggap berdiri di luar
cerita, bukan bagian dari cerita. Aku bersifat tanpa bentuk, tanpa aliran,
tanpa tradisi, tanpa cara pandang. Sebagai penggemar bualan Ajosidi, ia berada
dalam bualan itu dan menempatkannya sebagai satu-satunya kebenaran sehingga
menyebutnya sebagai “mengena”. Namun, sebagai sesuatu yang ada di luar bualan
itu, ia dapat melihat ketidakbenarannya, menyebutnya sebagai “bualan”. Aku juga
bisa berpihak pada Ajosidi, bisa juga berpihak pada Garin sebagaimana yang
sudah dikemukakan.
Dengan posisi mendua
yang demikian, “Aku” dapat dianggap sebagai representasi dari sesuatu yang ada
di luar segala bentuk kodifikasi, menjadi sosok tanpa bentuk. Hal demikian
tidak dengan sendirinya berarti bahwa apa yang direpresentasikannya tidak bisa
diidentifikasi. Di dalam cerita ditemukan bukti-bukti bahwa “Aku” sebenarnya
berpihak pada kemanusiaan dalam pengertian pada manusia dalam keberadaannya
yang paling langsung, yang lepas dari segala bentuk kodifikasi. Garin boleh
salah, tetapi Ajosidi tidak boleh “keterlaluan” dalam menyalahkannya, tidak
boleh mengakibatkan Garin dalam posisi yang begitu sengsara dan menderita
bahkan sampai meninggal dunia. Sebagai manusia ia tetap harus dihargai dan
dihormati. Ajosidi boleh baik hati dengan memberikan sumbangan kain kapan bagi
pemakaman Garin. Namun, kebaikan itu tidak cukup. Orang mati tidak hanya
membutuhkan segala perlengkapan dari sistem upacara pemakaman yang mekanistik,
melainkan juga membutuhkan kehadiran personal, keberadaan yang langsung,
sebagai ungkapan penghargaan terhadap dirinya. Kemanusiaan yang demikianlah
yang menjadi orientasi dari karya sastra. “Aku”, dengan demikian,
merepresentasikan sastra itu sendiri.
3. Fungsi Kritis Agama dan
Sastra
Sebagai representasi
dari ketuhanan dan kemanusiaan yang bersifat universal, yang melampaui segala
bentuk kodifikasi sosial dan kultural, agama dan sastra dapat menjalankan
fungsi kritis terhadap tatanan sosial yang terkodifikasikan itu. Dengan
melihatnya dari perspektif yang lain, bukan lagi fenomenologis, melainkan
kritis dan pasca-strukturalis, segala bentuk kodifikasi terhadap kenyataan
hidup pada dasarnya adalah sebuah reduksi, sebuah eksklusi, yang dapat menjadi
semacam naturalisasi dari proses sosial yang bersifat kultural, universalisasi
dari proses sosial yang bersifat partikular, historis, legitimasi bagi relasi
dominasi dan marginalisasi yang ada dalam kehidupan masyarakat tertentu, dalam
ruang dan waktu tertentu. Untuk menghindari kecenderungan yang kemudian ini,
untuk mencegah berkelanjutannya dominasi dan marginalisasi serta eksklusi
itulah diperlukan kekuatan-kekuatan yang bersifat universal, yang berada sistem
kodifikasi itu. Agama dan sastra, sebagaimana yang sudah dikemukakan di atas,
merupakan dua dari sekian kekuatan yang demikian.
Sebagai misal, ketika
ajaran agama menyatakan bahwa “semua manusia sama di hadapan Tuhan”, ajaran itu
telah menjalankan fungsi kritisnya terhadap segala bentuk kodifikasi kehidupan,
segala tatanan sosial yang bersifat diskriminatif dan hierarkis, segala bentuk
relasi sosial yang timpang, tidak berkeadilan. Fungsi Tuhan dalam ajaran
tersebut adalah sebagai kekuatan yang menihilkan semua tatanan yang tidak
demokratis, membatalkannya, dan menghapuskan legitimasi adikodrati terhadapnya.
Ketika ajaran lain dari agama, sebagaimana yang seringkali disampaikan oleh
ustad ataupun pendakwah, selalu mengingatkan manusia bahwa mereka pada akhirnya
akan mati dan kematian tidak bisa diramalkan, dan bahwa dalam kehidupan sesudah
mati yang diperlukan lagi harta benda kecuali amal sholeh dan doa anak yang
sholeh, ajaran itu mendelegitimasi tata kehidupan masyarakat yang semakin
materialistik dan materialisme yang menjadi dasar bagi tertentuknya relasi
sosial yang tidak setara dan tidak berkeadilan. Kematian memberikan janji bahwa
yang bisa mendapatkan akses bagi kesenangan hidup sorgawi tidak hanya mereka
yang berkelimpahan secara material, melainkan semua orang sejauh ia mempunyai
banyak simpanan amal/kebajikan dan doa anak yang sholeh. Di hadapan kematian
dan kehidupan sesudah mati yang universal itu segala bentuk kodifikasi sosial
yang bersifat historis menjadi batal atau ternihilkan.
Kumpulan cerpen Umar
Kayam yang berjudul Sri Sumarah dan Bawukmengandung
cerita yang syarat dengan nilai kemanusiaan yang universal, yang di dalamnya
nilai kehidupan manusia ditentukan dari persentuhan antarmanusia yang bersifat
langsung, tanpa mediasi, tanpa kodifikasi. Kemanusiaan yang demikian terutama
digunakan untuk menihilkan segala bentuk kodifikasi yang menempatkan dua
manusia dan dua kelompok manusia, yaitu mereka yang disebut sebagai komunis dan
anti-komunis, yang PKI dengan yang bukan-PKI dalam susunan yang hierarkis dan
diskriminatif. Dalam tingkat hubungan
yang sangat intim, personal, langsung seperti hubungan suami dengan istri,
orang tua dengan anak, kodifikasi yang demikian menjadi batal. Sri Sumarah
tidak dapat membuang dan mengabaikan anak dan menantunya yang terjaring ke
dalam pengelompokan sosial yang memarginalisasikan dan bahkan cenderung
berusaha menghapuskan/meniadakan keberadaan sekelompok orang yang dianggap
sebagai anggota PKI. Bawuk bertekad untuk tetap mengikuti suaminya walaupun
suaminya itu termasuk ke dalam organisasi yang menurut sisten kodifikasi yang
ada dianggap terlarang.
Karena baik ketuhanan
maupun kemanusiaan itu tanpa bentuk, berada di luar jangkauan segala sistem
kodifikasi, fungsi kritisnya tidak bermuara pada tawaran sebuah sistem
kodifikasi yang baru secara khusus. Fungsi kritis itu hanya berjalan sebagai
kekuatan untuk mencairkan tatanan sosial yang ada untuk kemudian membuka jalan
bagi kemungkinan tatanan sosial yang baru yang lebih baik walaupun tidak
ditentukan sebelumnya. Puisi “Sorga”
Chairil Anwar berakhir hanya dengan pertanyaan, sedangkan puisi “Doa”-nya
berakhir dengan pernyataan bahwa “Aku tak bisa berpaling”,sebuah posisi yang
ada di antara “keinginan berpaling” dengan “tak bisa berpaling”, posisi “pintu”
yang ada di antara ruang di luar dan di dalam “rumah Tuhan”. Dengan posisi yang
demikianlah sastra dan agama memberikan peluang pembebasan yang sesuai dengan
titik berangkat masing-masing, yaitu sesuatu yang ada di luar segala sistem
kodifikasi.
4. Agama dan Sastra sebagai
Produk dan Produsen Kebudayaan
Meskipun
merepresentasikan Tuhan atau ketuhanan yang universal, tanpa bentuk, tak
terkodifikasikan, agama tetaplah suatu bentuk, sebuah sistem kodifikasi. Hal
inilah yang membuat Mangunwijaya, seperti yang sudah dikemukakan, membedakannya
dari religiusitas. Hal ini pula yang menyebabkan terjadinya pertentangan antara
“sorga” agama dengan “sorga” “aku” dalam puisi Chairil di atas, pertentangan
antara “aku”, baik dengan Garin maupun dengan Ajosidi. Agama, dalam hal yang
demikian, berkedudukan sebagai produk kebudayaan yang terbatas, historis, yang
dipertentangkan dengan kemanusiaan yang tidak terbatas, universal. Meskipun
demikian, sebagai representasi dari ketuhanan yang tidak terbatas, sistem
kodifikasi agama mempunyai ciri khas, yaitu yangberani memikul “kayu salib”,
menghadapi kontradiksi dalam dirinya sendiri. Di satu pihak agama menjanjikan
sorga bagi orang yang mengikuti prosedur-prosedur formal keagamaan, tetapi di
lain pihak ia juga menihilkan janji itu melalui ajarannya yang lain, yang lebih
mengutamakan tauhid, keimanan, kecintaan pada Tuhan secara tanpa pamrih, tanpa
membangun harapan akan terpenuhinya janji-janji itu karena kehendak Tuhan tidak
bisa diramalkan, tak bisa dan tak boleh disentuh oleh pemahaman, sesuatu yang
suci. Dengan kata lain, meskipun prosedur formal keagamaan bertentangan dengan
religiusitas, religiusitas sebenarnya merupakan bagian dari ajaran keagamaan
itu sendiri, bukan sesuatu yang ada di luar dirinya. Dari sisi religiusitas
inilah agama menjalankan fungsi kritisnya, menjadi produsen kebudayaan.
Kecenderungan yang
sama terjadi pula pada sastra. Sastra bersandar pada kemanusiaan sebagai dunia
penghayatan yang lansung ada sebelum terbentuknya kodifikasi, sesuatu yang
membumi. Dalam posisi yang demikian sastra mempunyai potensi untuk menjalankan
fungsi kritisnya terhadap segala bentuk kodifikasi, menjalankan fungsinya
sebagai produsen kebudayaan. Meskipun demikian, dalam menjalankan fungsi
kritisnya yang demikian, sastra juga bergantung pada sistem kodifikasi yang
ada, yaitu bahasa. Sastra melawan bahasa dengan bahasa, melawan sistem
kodifikasi dengan sistem kodifikasi. Hanya saja, dalam kebergantungannya itu
sastra, sebagai representasi kemanusiaan yang tanpa bentuk, berusaha melakukan
destruksi terhadap bahasa, melakukan defamiliarisasi dalam pengertian Formalis
Rusia, berbicara secara tidak langsung, mengatakan sesuatu dengan maksud yang
lain sebagaimana yang dikemukan dalam semiotika pusinya Riffaterre. Sifat
destruktifnya itulah yang membuat sastra menjadi ambigu, berani menghadapi
kontradiksi dalam dirinya sendiri seperti agama di atas, menyampaikan pesan
tanpa pesan. Sastra adalah wacana dengan pesan yang berserakan, membuka jalan
bagi tafsir yang plural secara sadar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar