Sabtu, 10 November 2012

Akkanre Lekoka Di Makaranganna

Zulkifli,S.Hum
Langit pekat di ujung timur cakrawala tiba-tiba benderang. Cahayanya menembus awan membias di antara deretan ombak kecil lautan yang mengelilingi pulau ini,. Dalam benak aku tersentak gembira. Penantianku berbuah indah. Sebuah pembuktian segera tercapai. Namun semakin mendekat, semakin kumerasakan denyut nadiku bergetar kencang. Aku merasa takut pada keyakinanku yang diam-diam berbalik menikam.


Itu hanya sebuah kapal pencari ikan. Kapal dengan bentuk dan bahan modern milik seorang turunan orienal yang senang berbisnis dengan warga setempat. Namanya Jonathan. Akrab dipanggil Pak Jon. Dia Membeli ikan-ikan hasil tangkapan warga dengan harga terlewat murah untuk dijual dengan harga impor. 

Deru mesin kapalnya semakin jelas. Seperti pemandangan sebelumnya, sebentar lagi sebuah transaksi ala kolonial kembali terjadi. Tak bisa dilenyapkan dari muka bumi. Penjajahan tak lebih sebuah jalinan cinta yang paling indah. Penjajah berparas gagah dan posesif yang terlampau tinggi. Yang terjajah menyambutnya dengan keluguan dan kerinduan yang terlampau besar. Sebuah cerita cinta abadi yang sangat romantik. Namun kali ini dia beruntung, Aku bukan Rahwana lagi baginya.  

Maghrib berganti malam. suara tawa anak-anak bermain masih samar terdengar di seluruh penjuru pulau Makaranganna lewat pengeras suara masjid yang lupa dimatikan. Riuh ombak juga bermain dengan angin. Satu persatu bintang menampakkan dirinya di ruas langit. Aku lebih dahulu berdiri disini sendiri menatap sebuah kepastian. Beberapa tokoh masyarakat menghampiriku sepulang melaksanakan ibadah shalat maghrib. 

 Ada apa dengan dirimu, nak? Kau ragu?”,  Pak Lambo. Beliau orang pertama yang menjadi tamengku di pulau ini saat kuputuskan tinggal dan mengabdi demi ilmu pengetahuan.
Aku hanya terdiam. Seseorang menepuk bahuku. “Mimin, Sesungguhnya keyakinan akan menang melawan segala keraguan.” Pak Sulle mengingatkan, “Keyakinan kami disini kau ubah menjadi kebimbangan, mau tak mau kami akan percaya pada apa yang paling kuat diyakini. Itu adalah kau”. Sejenak semuanya kembali membisu sembari menatap cemas kekosongan langit gulita di ujung timur.
Semua kekhawatiran ini bermula dari beberapa waktu lalu. Aku menemukan informasi melalui internet di kota Lombok bahwa dua malam berikutnya akan terjadi gerhana Bulan. Kota Lombok merupakan akses peradaban terdekat. Saat itu juga aku kembali ke dusun Makaranganna. Dari Kota Lombok dengan menggunakan kapal tradisional bermesin dua butuh waktu sehari untuk tiba ke pulau Makaranganna. 

Pulau ini sendiri masih termasuk wilayah Propinsi Sulawesi Selatan, tepatnya di kabupaten Pangkep. Selayaknya, Kota Makassarlah menjadi pusat memutar rezeki warga setempat daripada menjual hasil laut mereka di luar. Apa mau dikata, Lomboklah pilihan strategis warga menjual kekayaan lautnya daripada harus menunggu dua malam di atas kapal kayu untuk tiba di pelabuhan Paotere-Makassar.  Lagipula mereka tidak perlu bersusah-payah ke kota. Tengkulak-tengkulak datang sendiri membeli hasil tangkapannya. Mereka membelinya dengan harga murah atau menukarnya dengan beberapa karung beras.

Sejak kedatanganku kemari, Tengkulak-tengkulak itu merasa khawatir, Takut dapur mereka diacak-acak oleh protesku. Aku membuka cara pandang warga agar menghindari mereka yang mencari keuntungan besar di antara keterbelakangan pengetahuan ekonomi yang ada. warga kuperkenalkan dengan beberapa pedagang jujur dari Lombok yang berani membeli ikan-ikan mereka dengan harga di atas dua ratus persen dari yang ditawarkan tengkulak-tengkulak itu. Sejak saat itu, Mereka punya semangat baru turun melaut.

Satu yang membuatku bertahan di tempat ini adalah semangat belajar anak-anak pulau. Saat pertama kali ke tempat ini. Sekolah ini tertutup dengan puluhan muridnya yang terlantar tanpa guru. Entah kemana mereka yang cengeng itu, padahal mereka disumpah untuk bersedia mengabdikan dirinya pada pendidikan. 

Aku membuka kembali sekolah itu. Orang berilmu tidak akan pernah kehabisan rezeki. Begitulah yang terjadi padaku. Status sosial yang ditinggikan membuat seorang pengajar informal sepertiku tidak sulit mencari makan. Mereka membawakanku makanan setiap saat. Membelikan aku pakaian baru. Dan mengizinkan aku tinggal di rumahnya.

Segalanya berjalan mulus. Sampai kabar tentang Gerhana Bulan saya sampaikan kepada murid-murid di sekolah. Ternyata mereka memberitahukan kepada orangtuanya bahwa tidak pernah ada makhluk jahat yang memakan bulan saat gerhana Bulan. 

Ada sebuah mitos yang berkembang secara turun temurun bahwa seekor monster besar sedang menelan bulan mereka. Hanya kegaduhanlah yang bisa mengusirnya dan memuntahkan kembali bulan yang ditelannya. Satu-satunya cara bagi mereka dengan membuat kegaduhan seperti sebuah pesta dengan berteriak-teriak “akkanre lekoka.”  

Sesungguhnya kalimat ini bukanlah bermakna gerhana. Tetapi lebih tepatnya sebuah peringatan fiktif bahwa ladang mereka sedang dilahap api. Dengan bersorak seperti itu, si raksasa merasa terusik dan tak jadi menelan bulan. Karena begitu identiknya, sehingga bagi orang Makassar menyebut fenomena gerhana dengan nama akkanre Lekoka. Hehe.., kesimpulan imajinatif menghasilkan solusi imajinatif pula.

Siang itu segera aku dipanggil ke rumah Pak Sulle. Pak Lambo bersama puluhan warga telah berkumpul disana. Tak kutahu apa yang telah mereka bicarakan sebelumnya. Yang aku tahu mata mereka tak lagi menunjukkan keramahan. 

“Dek Mimin, kami tahu adik ini orang pintar. Tidak tahu berapa tahun ketinggalannya Makaranganna sebelum kedatangan adik kemari. Kehadiran adik sangat membantu kami disini. Menaikkan penghasilan kami.” Pak Sulle memulai pembicaran. “Mengapa kau mengatakan kejadian Akkanre Lekoka hanya kejadian biasa?” Kau telah mengajarkan kami dan anak-anak kami membaca dan menulis. Dan kini kau mencoba mengalihkan keyakinan kami dengan ilmu yang kau miliki. Sekarang jelaskan pada kami semua ”. 

Aku hanya menghela nafas. Tertawa di dalam hati. Kupikir sebaiknya materi ini dijelaskan di dalam kelas saja bersama anak-cucu mereka. Setelah diberi izin oleh tuan rumah, Aku merogoh saku dan menemukan sebatang kapur tulis untuk kucoret-coret di dinding kayunya.

 kumulai penjelasanku dari siklus rotasi bumi mengelilingi matahari. Aku heran ternyata masih ada beberapa orang yang tak tahu bahwa buminya ini sedang sibuk mengelilingi matahari yang tercinta. Lalu kujelaskan bahwa bulan adalah benda luar angkasa yang paling terdekat dengan bumi. Bulan bersinar pada malam hari karena memantulkan cahaya matahari. Bulan selain mengelilingi bumi dia juga mengelilingi matahari. Kugambarkan pola rotasi bulan mengelilingi bumi sekaligus matahari. Itulah sebabnya bulan setiap malam akan berubah dari berbentuk sabit hingga purnama. Lalu dari purnama kembali ke bentuk sabit dan selanjutnya menghilang. Begitu seterusnya.

Sedangkan Gerhana bulan, atau akkanre lekoka, atau bahasa ilmiahnya Umbra terjadi akibat bulan, bumi dan matahari berurutan berada pada satu garis lurus. Bayangan bumi menghalangi bulan memantulkan cahaya matahari. Sehingga bulan tampak gelap beberapa saat lalu kembali terang.

Dengan berbagai pandangan ilmiah yang kupaparkan,  mereka tertantang untuk membuktikan betapa  tidak perlunya ada acara pengusiran makhluk raksasa pemakan bulan itu. Malam harinya mereka melihat purnama seakan digerogoti rayap. Pinggirannya mulai habis. Pemuda-pemuda pulau yang biasanya mojok di kios-kios meminum kopi sambil merayu anak anak gadis penjaga kios ikut meneliti perubahan purnama dari proses penumbra menjadi Umbra. Seluruh warga keluar menyaksikan peristiwa akkanre Lekoka. 

Saat memasuki masa umbra (gerhana total), semuanya tertawa riang dan terkagum-kagum memandang peristiwa alam yang selama ini dianggapnya ketakutan. Mereka merasa terbebas oleh belenggu tradisi yang dianggap membodohinya selama ini. Mereka menyadari sosok raksasa terbang penelan bulan itu tak lebih hanya sebuah hipotesis belaka. Sebuah batas pencarian tradisi masyarakat, bukanlah kesaksian empirik

Awan tebal malam itu menyelimuti langit. Sayang, Mereka tak sempat melihat perubahan selanjutnya. Satu persatu penghuni pulau masuk ke rumah. Sebahagian diantara mereka menggendong anak-anak yang lelah bermain di antara kerumunan warga. Pesta telah usai dan pengalaman keilmuan mereka bertambah malam itu.  

Seharusnya bertambah. Tetapi saat ini aku yang makin idiot. di bibir pantai ini, Bulan tak kunjung datang. Hanya kapal tengkulak yang memberi isyarat lewat lampu sorotnya kepada nelayan-nelayan Makaranganna agar menjual hasil tangkapannya yang tak laku-laku itu kepadanya. Sudah dua minggu ikan yang dipelihara di bagang-bagang mereka tak ada yang membelinya. Pembeli yang kuperkenalkan kepada mereka dilarang masuk oleh tengkulak-tengkulak ini. 

Aku tak mengerti. Jangankan untuk mengendalikan harga, kuasa atas diripun aku tak punya. Seakan semua mimpi itu menghilang. Gelap, segelap langit di ufuk timur yang tak lagi disinari rembulan. Aku kembali bertanya apa yang salah dengan teoriku. Mengapa bulan tak menampakkan dirinya? Dan Mengapa nelayan-nelayan ini memlih memiskinkan diri?

Denyut jantungku memompa rasa takut keseluruh tubuh, hingga kucoba membuka pikiran. Aku bertanya benarkah ilmu pengetahuan adalah kepastian? Kalaupun benar, mengapa ilmuwan masih memperdebatkannya? Aku seperti jatuh terperangkap di dalam lubang yang tak punya ujung pangkal.
Tiba-tiba pikiranku tersentak saat gulungan ombak menarik diri dari bibir pantai. Kuingat sewaktu duduk di bangku sekolah, Pernah suatu masa orang percaya bumi ini datar, Maka yang terjadi adalah datarlah bumi ini. Dan ketika ada sekelompok orang gila yang membuktikan dunia ini bulat. Maka dalam semalam bulat pulalah bumi ini.

Ilmu pengetahuan hanya satu diantara seribu alat yang mempertegas sebuah peradaban. Begitupun Kekayaan diidam-idamkan sebahagian besar manusia beradab di seluruh dunia. Bagi Makaranganna lautan luas tanpa petakan-petakan lahan pribadi adalah kekayaan yang tak terhingga, meski aku yang tercemari limbah peradaban menganggap kehidupan sederhana mereka itu sebuah keterbelakangan.
Untuk apa membeli kapal yang banyak jika hanya dihuni oleh seorang nahkoda? Dan untuk apa membeli tanah jika tanah di pulau semuanya adalah milik keluarga? Lalu untuk apa aku kemari jika peradaban mereka sudah jauh meninggalkan aku?

 Aku menjadi sangat bodoh. Aku kembali menelan ludah teringat saat mereka kuajak untuk tidak mengusir legenda makhluk raksasa yang menelan purnama mereka. Otakku tak mampu menganalisa lebih jauh lagi. Aku terpaku. Apa yang kuyakini telah mencincang seluruh simpul syarafku. Yang ada di benakku, kalaupun sang raksasa tak pernah ada, tak mungkin di malam ke delapan selepas gerhana ini aku belum juga menemukan bulan. 

Makassar, 14 agustus 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar