Zulkifli,S.Hum |
Langit pekat
di ujung timur cakrawala tiba-tiba benderang. Cahayanya menembus awan membias
di antara deretan ombak kecil lautan yang mengelilingi pulau ini,. Dalam benak
aku tersentak gembira. Penantianku berbuah indah. Sebuah pembuktian segera
tercapai. Namun semakin mendekat, semakin kumerasakan denyut nadiku bergetar
kencang. Aku merasa takut pada keyakinanku yang diam-diam berbalik menikam.
Itu hanya sebuah
kapal pencari ikan. Kapal dengan bentuk dan bahan modern milik seorang turunan
orienal yang senang berbisnis dengan warga setempat. Namanya Jonathan. Akrab
dipanggil Pak Jon. Dia Membeli ikan-ikan hasil tangkapan warga dengan harga terlewat
murah untuk dijual dengan harga impor.
Deru mesin
kapalnya semakin jelas. Seperti pemandangan sebelumnya, sebentar lagi sebuah transaksi
ala kolonial kembali terjadi. Tak bisa dilenyapkan dari muka bumi. Penjajahan
tak lebih sebuah jalinan cinta yang paling indah. Penjajah berparas gagah dan
posesif yang terlampau tinggi. Yang terjajah menyambutnya dengan keluguan dan
kerinduan yang terlampau besar. Sebuah cerita cinta abadi yang sangat romantik.
Namun kali ini dia beruntung, Aku bukan Rahwana lagi baginya.
Maghrib berganti
malam. suara tawa anak-anak bermain masih samar terdengar di seluruh penjuru
pulau Makaranganna lewat pengeras suara masjid yang lupa dimatikan. Riuh ombak
juga bermain dengan angin. Satu persatu bintang menampakkan dirinya di ruas
langit. Aku lebih dahulu berdiri disini sendiri menatap sebuah kepastian. Beberapa
tokoh masyarakat menghampiriku sepulang melaksanakan ibadah shalat maghrib.
“Ada apa
dengan dirimu, nak? Kau ragu?”, Pak
Lambo. Beliau orang pertama yang menjadi tamengku di pulau ini saat kuputuskan
tinggal dan mengabdi demi ilmu pengetahuan.
Aku hanya
terdiam. Seseorang menepuk bahuku. “Mimin,
Sesungguhnya keyakinan akan menang melawan segala keraguan.” Pak Sulle
mengingatkan, “Keyakinan kami disini kau
ubah menjadi kebimbangan, mau tak mau kami akan percaya pada apa yang paling
kuat diyakini. Itu adalah kau”. Sejenak semuanya kembali membisu sembari menatap
cemas kekosongan langit gulita di ujung timur.
Semua
kekhawatiran ini bermula dari beberapa waktu lalu. Aku menemukan informasi
melalui internet di kota Lombok bahwa dua malam berikutnya akan terjadi gerhana
Bulan. Kota Lombok merupakan akses peradaban terdekat. Saat itu juga aku
kembali ke dusun Makaranganna. Dari Kota Lombok dengan menggunakan kapal
tradisional bermesin dua butuh waktu sehari untuk tiba ke pulau Makaranganna.
Pulau ini sendiri
masih termasuk wilayah Propinsi Sulawesi Selatan, tepatnya di kabupaten
Pangkep. Selayaknya, Kota Makassarlah menjadi pusat memutar rezeki warga
setempat daripada menjual hasil laut mereka di luar. Apa mau dikata, Lomboklah
pilihan strategis warga menjual kekayaan lautnya daripada harus menunggu dua
malam di atas kapal kayu untuk tiba di pelabuhan Paotere-Makassar. Lagipula mereka tidak perlu bersusah-payah ke
kota. Tengkulak-tengkulak datang sendiri membeli hasil tangkapannya. Mereka
membelinya dengan harga murah atau menukarnya dengan beberapa karung beras.
Sejak
kedatanganku kemari, Tengkulak-tengkulak itu merasa khawatir, Takut dapur
mereka diacak-acak oleh protesku. Aku membuka cara pandang warga agar
menghindari mereka yang mencari keuntungan besar di antara keterbelakangan
pengetahuan ekonomi yang ada. warga kuperkenalkan dengan beberapa pedagang
jujur dari Lombok yang berani membeli ikan-ikan mereka dengan harga di atas dua
ratus persen dari yang ditawarkan tengkulak-tengkulak itu. Sejak saat itu,
Mereka punya semangat baru turun melaut.
Satu yang
membuatku bertahan di tempat ini adalah semangat belajar anak-anak pulau. Saat
pertama kali ke tempat ini. Sekolah ini tertutup dengan puluhan muridnya yang
terlantar tanpa guru. Entah kemana mereka yang cengeng itu, padahal mereka disumpah
untuk bersedia mengabdikan dirinya pada pendidikan.
Aku membuka
kembali sekolah itu. Orang berilmu tidak akan pernah kehabisan rezeki. Begitulah
yang terjadi padaku. Status sosial yang ditinggikan membuat seorang pengajar
informal sepertiku tidak sulit mencari makan. Mereka membawakanku makanan
setiap saat. Membelikan aku pakaian baru. Dan mengizinkan aku tinggal di
rumahnya.
Segalanya
berjalan mulus. Sampai kabar tentang Gerhana Bulan saya sampaikan kepada
murid-murid di sekolah. Ternyata mereka memberitahukan kepada orangtuanya bahwa
tidak pernah ada makhluk jahat yang memakan bulan saat gerhana Bulan.
Ada sebuah mitos
yang berkembang secara turun temurun bahwa seekor monster besar sedang menelan
bulan mereka. Hanya kegaduhanlah yang bisa mengusirnya dan memuntahkan kembali
bulan yang ditelannya. Satu-satunya cara bagi mereka dengan membuat kegaduhan
seperti sebuah pesta dengan berteriak-teriak “akkanre lekoka.”
Sesungguhnya kalimat
ini bukanlah bermakna gerhana. Tetapi lebih tepatnya sebuah peringatan fiktif bahwa
ladang mereka sedang dilahap api. Dengan bersorak seperti itu, si raksasa merasa
terusik dan tak jadi menelan bulan. Karena begitu identiknya, sehingga bagi
orang Makassar menyebut fenomena gerhana dengan nama akkanre Lekoka. Hehe.., kesimpulan imajinatif menghasilkan solusi
imajinatif pula.
Siang itu segera
aku dipanggil ke rumah Pak Sulle. Pak Lambo bersama puluhan warga telah
berkumpul disana. Tak kutahu apa yang telah mereka bicarakan sebelumnya. Yang aku
tahu mata mereka tak lagi menunjukkan keramahan.
“Dek Mimin, kami tahu adik ini orang pintar. Tidak
tahu berapa tahun ketinggalannya Makaranganna sebelum kedatangan adik kemari. Kehadiran
adik sangat membantu kami disini. Menaikkan penghasilan kami.” Pak Sulle memulai pembicaran. “Mengapa kau mengatakan kejadian Akkanre
Lekoka hanya kejadian biasa?” Kau telah mengajarkan kami dan anak-anak kami
membaca dan menulis. Dan kini kau mencoba mengalihkan keyakinan kami dengan
ilmu yang kau miliki. Sekarang jelaskan pada kami semua ”.
Aku hanya
menghela nafas. Tertawa di dalam hati. Kupikir sebaiknya materi ini dijelaskan di
dalam kelas saja bersama anak-cucu mereka. Setelah diberi izin oleh tuan rumah,
Aku merogoh saku dan menemukan sebatang kapur tulis untuk kucoret-coret di
dinding kayunya.
kumulai penjelasanku dari siklus rotasi bumi
mengelilingi matahari. Aku heran ternyata masih ada beberapa orang yang tak
tahu bahwa buminya ini sedang sibuk mengelilingi matahari yang tercinta. Lalu
kujelaskan bahwa bulan adalah benda luar angkasa yang paling terdekat dengan
bumi. Bulan bersinar pada malam hari karena memantulkan cahaya matahari. Bulan
selain mengelilingi bumi dia juga mengelilingi matahari. Kugambarkan pola
rotasi bulan mengelilingi bumi sekaligus matahari. Itulah sebabnya bulan setiap
malam akan berubah dari berbentuk sabit hingga purnama. Lalu dari purnama
kembali ke bentuk sabit dan selanjutnya menghilang. Begitu seterusnya.
Sedangkan Gerhana
bulan, atau akkanre lekoka, atau bahasa ilmiahnya Umbra terjadi akibat bulan,
bumi dan matahari berurutan berada pada satu garis lurus. Bayangan bumi
menghalangi bulan memantulkan cahaya matahari. Sehingga bulan tampak gelap
beberapa saat lalu kembali terang.
Dengan berbagai
pandangan ilmiah yang kupaparkan, mereka
tertantang untuk membuktikan betapa
tidak perlunya ada acara pengusiran makhluk raksasa pemakan bulan itu.
Malam harinya mereka melihat purnama seakan digerogoti rayap. Pinggirannya
mulai habis. Pemuda-pemuda pulau yang biasanya mojok di kios-kios meminum kopi
sambil merayu anak anak gadis penjaga kios ikut meneliti perubahan purnama dari
proses penumbra menjadi Umbra. Seluruh warga keluar menyaksikan
peristiwa akkanre Lekoka.
Saat memasuki
masa umbra (gerhana total), semuanya
tertawa riang dan terkagum-kagum memandang peristiwa alam yang selama ini
dianggapnya ketakutan. Mereka merasa terbebas oleh belenggu tradisi yang
dianggap membodohinya selama ini. Mereka menyadari sosok raksasa terbang
penelan bulan itu tak lebih hanya sebuah hipotesis belaka. Sebuah batas
pencarian tradisi masyarakat, bukanlah kesaksian empirik
Awan tebal malam
itu menyelimuti langit. Sayang, Mereka tak sempat melihat perubahan
selanjutnya. Satu persatu penghuni pulau masuk ke rumah. Sebahagian diantara
mereka menggendong anak-anak yang lelah bermain di antara kerumunan warga.
Pesta telah usai dan pengalaman keilmuan mereka bertambah malam itu.
Seharusnya
bertambah. Tetapi saat ini aku yang makin idiot. di bibir pantai ini, Bulan tak
kunjung datang. Hanya kapal tengkulak yang memberi isyarat lewat lampu sorotnya
kepada nelayan-nelayan Makaranganna agar menjual hasil tangkapannya yang tak
laku-laku itu kepadanya. Sudah dua minggu ikan yang dipelihara di bagang-bagang
mereka tak ada yang membelinya. Pembeli yang kuperkenalkan kepada mereka
dilarang masuk oleh tengkulak-tengkulak ini.
Aku tak mengerti.
Jangankan untuk mengendalikan harga, kuasa atas diripun aku tak punya. Seakan
semua mimpi itu menghilang. Gelap, segelap langit di ufuk timur yang tak lagi
disinari rembulan. Aku kembali bertanya apa yang salah dengan teoriku. Mengapa
bulan tak menampakkan dirinya? Dan Mengapa nelayan-nelayan ini memlih
memiskinkan diri?
Denyut jantungku
memompa rasa takut keseluruh tubuh, hingga kucoba membuka pikiran. Aku bertanya
benarkah ilmu pengetahuan adalah kepastian? Kalaupun benar, mengapa ilmuwan
masih memperdebatkannya? Aku seperti jatuh terperangkap di dalam lubang yang
tak punya ujung pangkal.
Tiba-tiba
pikiranku tersentak saat gulungan ombak menarik diri dari bibir pantai. Kuingat
sewaktu duduk di bangku sekolah, Pernah suatu masa orang percaya bumi ini datar,
Maka yang terjadi adalah datarlah bumi ini. Dan ketika ada sekelompok orang gila yang membuktikan dunia ini bulat. Maka
dalam semalam bulat pulalah bumi ini.
Ilmu pengetahuan
hanya satu diantara seribu alat yang mempertegas sebuah peradaban. Begitupun
Kekayaan diidam-idamkan sebahagian besar manusia beradab di seluruh dunia. Bagi
Makaranganna lautan luas tanpa petakan-petakan lahan pribadi adalah kekayaan
yang tak terhingga, meski aku yang tercemari limbah peradaban menganggap
kehidupan sederhana mereka itu sebuah keterbelakangan.
Untuk apa membeli
kapal yang banyak jika hanya dihuni oleh seorang nahkoda? Dan untuk apa membeli
tanah jika tanah di pulau semuanya adalah milik keluarga? Lalu untuk apa aku
kemari jika peradaban mereka sudah jauh meninggalkan aku?
Aku menjadi sangat bodoh. Aku kembali menelan
ludah teringat saat mereka kuajak untuk tidak mengusir legenda makhluk raksasa yang menelan purnama mereka.
Otakku tak mampu menganalisa lebih jauh lagi. Aku terpaku. Apa yang kuyakini telah
mencincang seluruh simpul syarafku. Yang ada di benakku, kalaupun sang raksasa
tak pernah ada, tak mungkin di malam ke delapan selepas gerhana ini aku belum
juga menemukan bulan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar