Selasa, 07 Februari 2017

Kopi-susu Manusia Kampus


Semuanya telah berubah kawan. Yeah… hanya kalimat tersebut yang dapat mewakili sekaligus mengungkapkan perasaan pilu dan pedih di hati yang telah dilukai zaman. Kamu akan merasa sangat bangga memakai almamater dan beridentitas sebagai masyarakat ilmiah. Tahukah kalian tentang identitas masyarakat ilmiah yang sebenarnya? Masyarakat ilmiah adalah orang yang mengayomi masyarakat umum (society), melawan ketika mengindera penindasan, dan memperjuangkan kebenaran yang tengah diinjak penguasa. Begitulah kawan, jangan pernah menyebut diri kalian sebagai masyarakat ilmiah (Mahasiswa) jika kalian masih tertawa terbahak di ruang kelas dengan melihat kumpulan foto-foto yang dihasilkan oleh produk kaum kapitalisme sementara rakyat mandi air mata dengan jeritan kesusahan. Seorang mahasiswa seharusnya hadir di tengah keluh kesah rakyat, merasakan kepedihan itu, dan mencari penyebab akan kepedihan dan kesusahan tersebut.
Saya pribadi tidak habis pikir mengenai arti mahasiswa yang sebenarnya, apakah yang dikatakan sebagai seorang mahasiswa itu hanya dating ke kelas menikmati lantunan sang pengajar dan menganggapnya sebagai dongeng “ Kancil dan kura-kura” sebagai pengantar tidur atau hanya ingin mencari latar indah tuk ber-selfie. Kebanyakan dari mereka menganggap kampus sebagai mall yang memiliki fasilitas-fasilitas yang menawan yang mendukung kejernihan foto yang dihasilkan dari kamera mereka yang memiliki high megapixel. Apakah ini yang dinamakan penindasan teknologi yang seketika mampu menggantikan otak manusia. Mahasiswa yang dulunya familiar sebagai agent of creating karna mereka adalah kaum-kaum intelektual.
Namun, mahasiswa pada masa kini hanyalah penikmat, penikmat buah pikiran orang lain. Mahasiswa yang seharusnya mengubah wajah dunia bukan wajah dunia yang mengubah mereka. Kata “Mahasiswa” hari ini ibaratkan buku yang bersampul emas yang berisikan kertas-kertas kosong itulah mahasiswa.
Zaman telah mengubah paradigm mereka dan menggugurkan ciri khas dari seorang mahasiswa sebagai kaum yang memiliki dasar pemikiran kritik. Dasar pemikiran kritik dalam hal ini adalah mereka yang tidak serta merta langsung menerima sesuatu tanpa melakukan proses pengkajian, dan mereka yang memiliki the power of resisting jika menyaksikan kesewenang-wenangan terjadi di dalam dunia mereka. Jika kita melihat lebih dekat dampak-dampak dari runtuhnya pemikiran kritik tersebut memiliki banyak dampak negative dibanding dampak positif, salah satunya adalah: (1). Terciptanya gaya hidup modern yang seringkali melanggar norma-norma yang ada baik norma sosial maupun norma agama, hal ini sangat berkaitan erat dengan busana atau performance yang selalu dimunculkan oleh mereka. Kosmetik dan pakaian mewah yang senantiasa menemani keseharian mereka telah menciptakan peradaban baru, peradaban yang seharusnya menjadi tempat atau wadah bagi mereka dalam menuntut ilmu di dunia pendidikan beralih menjadi tempat pameran kosmetik dan pakaian yang berstandar internasional. Mereka telah terperangkap dalam kekerasan zaman dan dibutakan oleh kamuflase kehidupan. Pakaian yang telah dipermak oleh tangan-tangan kaum yang bernaung di bawah system ekonomi pasar dan kosmetik yang telah diracik dengan ramuan-ramuan ajaib yang seketika memancarkan kulit pekat mereka yang menjadi tawanan system tersebut. Rambut colorful terurai di mana-mana, dan aurat menjadi bahan tontonan, once more apakah ini yang dinamakan Mahasiswa? Dimanakah letak etika seseorang yang katanya terpelajar itu? Etika dan idealisme yang dulunya selalu menjadi penanda antara kaum-kaum terpelajar dengan yang tidak kini telah musnah ditelan kekerasan zaman, (2). Tumbuhnya budaya perilaku tidak etis di kalangan mahasiswa. Budaya tersebut telah mulai merambat kepada para generasi muda, salah satunya adalah Kecenderungan mengedepankan etika personal ketimbang etika yang lebih besar (sosial) atau dengan kata lain Kecenderungan mengedepankan kepentingan diri sendiri. Ini telah terpampang jelas pada wajah mahasiswa saat ini yang ditandai dengan membekunya gerakan-gerakan mahasiswa. Padahal jika kita mengkaji problematika-problematika yang tengah dihadapi rakyat saat ini, kita akan menemukan pelbagai permasalahan yang sudah seharusnya ditanggulangi dengan serius. Contoh permasalahan yang sedang dihadapi rakyat sekarang khususnya di Makassar yakni reklamasi Pantai Losari. Ini adalah masalah besar yang tengah dijumpai rakyat Makassar karena mengingat bahwa Pantai Losari merupakan ruang publik yang sering dikunjungi sebagai salah satu tourism place di Makassar atau dengan kata lain Pantai Losari adalah salah satu ciri khas kota Makassar dan juga yang tidak kalah penting yakni masyarakat pesisir di dekat Pantai tersebut akan kehilangan mata pencaharian mereka. Reklamasi Pantai Losari dipelopori oleh 4 instansi besar yakni Pemerintah Provinsi (Pemprov), PT. Yasmine, PT. Ciputra, dan PT. Boskali dari Belanda. Mahasiswa adalah salah satu pihak yang memiliki peran penting untuk melindungi rakyat pesisir dari ancaman the four big empire yang hendak merenggut kehidupan rakyat pesisir dan memprivatisasi ruang public.
Kita tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupan rakyat pesisir pasca reklamasi. Disinilah peran mahasiswa sangat dibutuhkan tapi kenyataannya kebanyakan mahasiswa menutup mata dan telinga, seakan-akan mereka tidak menyaksikan hal tersebut. Di tengah perasaan was-was, rakyat tidak tahu di mana mereka bisa meminta pertolongan dan perlindungan. Apakah mereka harus meminta pertolongan dan perlindungan dari pihak pemerintah? Jawabannya tidak karena mereka tahu bahwa ada actor di balik layar dalam permasalahan ini yakni pemerintah. Apakah mereka harus meminta pertolongan dan perlindungan dari pihak aparatur Negara? Jawabannya tidak karena mereka tahu bahwa dalam pelaksanaan reklamasi ini ada pihak yang mengawasi yakni mereka yang memiliki pangkat. Lalu dimana rakyat harus meminta pertolongan dan perlindungan? Jawabannya adalah Mahasiswa, tapi dimana mahasiswa di saat rakyat membutuhkan mereka? Apakah mereka sedang mengerjakan tugas kuliah atau sedang bercanda ria di mall?. Budaya memikirkan diri sendiri dan acuh tak acuh terhadap rakyat yang sedang sangat membutuhkan pertolongan mereka merupakan potret kehidupan mahasiswa di zaman ini. Itu adalah perbuatan yang sangat menjijikkan, jiwa mereka telah terpasung dalam dunia hedonisme dan apatisme.
Mahasiswa dalam pusaran hedonisme adalah kalimat yang cocok untuk menggambarkan mahasiswa saat ini. Saya kembali teringat dengan beberapa artikel yang pernah saya baca yang menyangkut masyarakat ilmiah/manusia-manusia kampus/mahasiswa, dalam artikel tersebut banyak dipaparkan mengenai etika dan shock budaya baru mahasiswa, saya mencoba membaca halaman demi halaman dan saya menemukan kata yang unik yakni Mahasiswa, sebuah kata “wah” bagian masyarakat kita, Indonesia. Sebagian pemuda melihat hanya sebatas angan yang menggantung di tingginya langit biru untuk ikut mengecap indahnya menjadi manusia kampus. Dan masih banyak orang tua negeri ini hanya bisa mengusap dada karena merasa bersalah karena tidak mampu menjadikan anaknya masuk dalam golongan kaum menengah (kuliah). Pertanyaannya sekarang, apakah benar mahasiswa menjadi sesuatu yang “wah”, factor-faktor apa yang membuat mahasiswa sebagai “barang” atau dunia mewah? Dan kemudian banyak pemuda di negeri nusantara ini yang kemudian menginginkan sandang namanya sebagai mahasiswa, serta mengapa orang tua sedikit banyak merasa “bersalah” sebab ketidakmampuan financial menyekolahkan anaknya di perguruan tinggi?. Dalam hal ini kita bisa mengindikasikan bahwa ada sesuatu tersirat yang maha dahsyat di balik sandangan kata mahasiswa!
Padahal kalau mencermati, realita manusia kampus hari ini, sebenarnya tidak terlalu istimewa, terlepas bahwa seorang soekarno dahulu pernah berkata “berikan aku sepuluh pemuda, maka aku akan menggoncangkan dunia”, ataupun kembali ke sejarah atau semacam beromantisme ria, dimana pada tahun 1998, tepatnya 21 mei, Rezim Despotis Seoharto tumbang, karena terpacu oleh desakan mahasiswa, atau kejadian “ironi” 1966, soekarno sebagai presiden pertama juga harus meninggalkan singgasana empuknya sebab gerakan mahasiswa bersama partner politiknya (ABRI). Namun disini, keadaan fakta sejarah yang telah disebutkan diatas, ternyata tidak serta merta membuat seluruh mahasiswa harus bangga dengan gemilang jaya masa lalunya. Karena ketika kita kembali pada realita dalam konteks kekinian, spirit demikian (mengambil inisiasi bergerak dalam melakukan sebuah perubahan, menumbangkan sebuah stagnasi sosial) makin hari makin berkurang atau mungkin sudah hilang dalam benak semua mahasiswa. Naudzubillah!
Semoga tidak melakukan suatu simplikasi dari kompleksitas serta keunikan mahasiswa, saya sering mengatakan bahwa mahasiswa hari ini tidak lebih dari korban-korban kebudayaan. Korban kebudayaan baru yang sebenarnya pada awalnya asing bagi mereka, jeratan-jeratan Mesin Idiologi Kapitalis dengan bentuk style-style kemudian sangat kuat menjerat mahasiswa sebagai element pemuda. Sadar atau tidak, mahasiswa hari ini menjadi “Silent Mayority “mayoritas yang diam atau didiamkan dengan buaian-buaian mesin maha dahsyat tadi. Dapat diduga apa yang terjadi kemudian, manusia-manusia kampus sangat lucu dalam statusnya sebagai kelas menengah pendorong perubahan, sebab dia tidak lebih dari objek perubahan itu sendiri yang di setting oleh kalangan tertentu yang tentunya untuk kepentingan mereka. Ketika kawan-kawan mahasiswa berjalan dalam keramaian kampus, melihat dengan kacamata kritis maka akan menemukan potret-potret manusia yang sedang sakit, mengalami shock budaya, mengalami inferioritas memandang budayanya, dan melihat budaya yang sebenarnya mendominasi dan menjajahnya sebagai budaya yang patut ditiru dalam setiap lekuk langkahnya. Maka ketika melihat mahasiswa= pemandangan potret manusia-manusia yang shock budaya baru, manusia yang teralienasi dengan nilai-nilai leluhur dan lingkungannya. Manusia yang berada dalam persimpangan jalan dalam pertarungan global; semua kelompok/golongan saling memperebutkan dominasi dan pengaruhnya. Dengan dominasi budaya barat yang sangat gencar, bersifat revolusioner, lewat media-media, terutama media elektronik, lanjutan penindasan akan lebih vulgar oleh kita yang kritis melihat fenomena social mahasiswa. Berkembangnya imperialisme dengan metode persuasif atau hegemoni lewat model style, pakaian, busana perempuan, kosmetik, dan lain-lain seperti yang telah diuraikan pada paragraph ke-4 line ke-7, menuju suatu muara penyamaan homogenitas dengan bahasa universalitas. Maka dalam benak mahasiswa kemudian sibuk dengan konstruk-konstruk budaya yang ditebarkan oleh para pemodal/kapitalis. Sebagai misal, konstruk pikiran kita akan melihat bahwa manusia/mahasiswa modern adalah yang memakai celana “botol-botol”, baju ketat, warna mencolok, memirang rambut, kelompok ini sebagai representasi mahasiswa modern yang layak hidup dan di contoh dalam peradaban manusia kampus. Sebaliknya sebagai representasi tradisionalisme, mahasiswa yang berpakaian jaman dulu, memakai kerudung besar, memakai kebaya, atau yang sering disebut katrok, dan tidak layak hidup dalam peradaban manusia kampus. Sadar atau tidak konstruk social seperti ini, adalah permainan para pemodal sedemikian rupa sehingga terbentuk kelas-kelas social dalam masyarakat kampus.
Masyarakat ilmiah/manusia-manusia kampus/mahasiswa harus menerapkan etika Teleologis dan Universalisme dalam diri mereka, yang dimaksud dengan etika Teleologis adalah Suatu perbuatan (tindakan) hanya akan dinilai baik, apabila perbuatan (tindakan) tersebut bertujuan untuk mencapai sesuatu yang baik, dan atau akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan itu baik, sedangkan etika Universalisme adalah Sesuatu dapat dinilai baik apabila dapat memberikan kebaikan kepada orang banyak. Oleh karena itu, membela dan memperjuangkan rakyat yang sedang menghadapi penindasan adalah tugas mahasiswa.
Problematika mahasiswa hari ini tidak terlepas dari analogi Karl Marx yang mengatakan bahwa “Menghasilkan barang-barang yang berguna dalam jumlah yang banyak akan menghasilkan orang-orang yang tidak berguna.” Jika kita menginterpretasikan apa yang dikatakan oleh tokoh Kapitalisme tersebut dan kita hubungkan dalam kehidupan kampus maka kita bisa memperoleh kesimpulan bahwa dunia kampus hari ini bagaikan dunia pasar yang mana para petinggi menggait calon mahasiswa sebanyak-banyaknya mereka hanya memperhitungkan jumlah daripada kualitas. Hal itu terbukti pada saat ini, kita bisa menyaksikan bahwa jumlah mahasiswa yang ada di kota ini di atas rata-rata tapi pertanyaan yang muncul apakah jumlah bisa menjamin sebuah kualitas.
Goresan ini saya persembahkan kepada para mahasiswa yang lupa akan perannya sebagai masyarakat ilmiah yang beretika (agent of change, agent of social control, and agent of moral force).
“Menulis, membaca, dan melawan adalah Mahasiswa”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar