Semuanya telah berubah kawan. Yeah…
hanya kalimat tersebut yang dapat mewakili sekaligus mengungkapkan perasaan
pilu dan pedih di hati yang telah dilukai zaman. Kamu akan merasa sangat bangga
memakai almamater dan beridentitas sebagai masyarakat ilmiah. Tahukah kalian
tentang identitas masyarakat ilmiah yang sebenarnya? Masyarakat ilmiah adalah
orang yang mengayomi masyarakat umum (society), melawan ketika mengindera
penindasan, dan memperjuangkan kebenaran yang tengah diinjak penguasa.
Begitulah kawan, jangan pernah menyebut diri kalian sebagai masyarakat ilmiah
(Mahasiswa) jika kalian masih tertawa terbahak di ruang kelas dengan melihat
kumpulan foto-foto yang dihasilkan oleh produk kaum kapitalisme sementara
rakyat mandi air mata dengan jeritan kesusahan. Seorang mahasiswa seharusnya
hadir di tengah keluh kesah rakyat, merasakan kepedihan itu, dan mencari
penyebab akan kepedihan dan kesusahan tersebut.
Saya pribadi tidak habis pikir mengenai
arti mahasiswa yang sebenarnya, apakah yang dikatakan sebagai seorang mahasiswa
itu hanya dating ke kelas menikmati lantunan sang pengajar dan menganggapnya
sebagai dongeng “ Kancil dan kura-kura” sebagai pengantar tidur atau hanya
ingin mencari latar indah tuk ber-selfie. Kebanyakan dari mereka menganggap
kampus sebagai mall yang memiliki
fasilitas-fasilitas yang menawan yang mendukung kejernihan foto yang dihasilkan
dari kamera mereka yang memiliki high megapixel.
Apakah ini yang dinamakan penindasan teknologi yang seketika mampu menggantikan
otak manusia. Mahasiswa yang dulunya familiar
sebagai agent of creating karna
mereka adalah kaum-kaum intelektual.
Namun, mahasiswa pada masa kini
hanyalah penikmat, penikmat buah pikiran orang lain. Mahasiswa yang seharusnya
mengubah wajah dunia bukan wajah dunia yang mengubah mereka. Kata “Mahasiswa”
hari ini ibaratkan buku yang bersampul emas yang berisikan kertas-kertas kosong
itulah mahasiswa.
Zaman telah mengubah paradigm mereka
dan menggugurkan ciri khas dari seorang mahasiswa sebagai kaum yang memiliki
dasar pemikiran kritik. Dasar pemikiran kritik dalam hal ini adalah mereka yang
tidak serta merta langsung menerima sesuatu tanpa melakukan proses pengkajian,
dan mereka yang memiliki the power of
resisting jika menyaksikan kesewenang-wenangan terjadi di dalam dunia
mereka. Jika kita melihat lebih dekat dampak-dampak dari runtuhnya pemikiran
kritik tersebut memiliki banyak dampak negative dibanding dampak positif, salah
satunya adalah: (1). Terciptanya gaya hidup modern yang seringkali melanggar
norma-norma yang ada baik norma sosial maupun norma agama, hal ini sangat
berkaitan erat dengan busana atau performance yang selalu dimunculkan oleh
mereka. Kosmetik dan pakaian mewah yang senantiasa menemani keseharian mereka
telah menciptakan peradaban baru, peradaban yang seharusnya menjadi tempat atau
wadah bagi mereka dalam menuntut ilmu di dunia pendidikan beralih menjadi
tempat pameran kosmetik dan pakaian yang berstandar internasional. Mereka telah
terperangkap dalam kekerasan zaman dan dibutakan oleh kamuflase kehidupan.
Pakaian yang telah dipermak oleh tangan-tangan kaum yang bernaung di bawah
system ekonomi pasar dan kosmetik yang telah diracik dengan ramuan-ramuan ajaib
yang seketika memancarkan kulit pekat mereka yang menjadi tawanan system
tersebut. Rambut colorful terurai di
mana-mana, dan aurat menjadi bahan tontonan, once more apakah ini yang dinamakan Mahasiswa? Dimanakah letak
etika seseorang yang katanya terpelajar itu? Etika dan idealisme yang dulunya
selalu menjadi penanda antara kaum-kaum terpelajar dengan yang tidak kini telah
musnah ditelan kekerasan zaman, (2). Tumbuhnya budaya perilaku tidak etis di
kalangan mahasiswa. Budaya tersebut telah mulai merambat kepada para generasi
muda, salah satunya adalah Kecenderungan mengedepankan etika personal ketimbang
etika yang lebih besar (sosial) atau dengan kata lain Kecenderungan
mengedepankan kepentingan diri sendiri. Ini telah terpampang jelas pada wajah
mahasiswa saat ini yang ditandai dengan membekunya gerakan-gerakan mahasiswa.
Padahal jika kita mengkaji problematika-problematika yang tengah dihadapi
rakyat saat ini, kita akan menemukan pelbagai permasalahan yang sudah
seharusnya ditanggulangi dengan serius. Contoh permasalahan yang sedang
dihadapi rakyat sekarang khususnya di Makassar yakni reklamasi Pantai Losari.
Ini adalah masalah besar yang tengah dijumpai rakyat Makassar karena mengingat
bahwa Pantai Losari merupakan ruang publik yang sering dikunjungi sebagai salah
satu tourism place di Makassar atau
dengan kata lain Pantai Losari adalah salah satu ciri khas kota Makassar dan
juga yang tidak kalah penting yakni masyarakat pesisir di dekat Pantai tersebut
akan kehilangan mata pencaharian mereka. Reklamasi Pantai Losari dipelopori
oleh 4 instansi besar yakni Pemerintah Provinsi (Pemprov), PT. Yasmine, PT.
Ciputra, dan PT. Boskali dari Belanda. Mahasiswa adalah salah satu pihak yang
memiliki peran penting untuk melindungi rakyat pesisir dari ancaman the four big empire yang hendak merenggut
kehidupan rakyat pesisir dan memprivatisasi ruang public.
Kita tidak bisa membayangkan bagaimana
kehidupan rakyat pesisir pasca reklamasi. Disinilah peran mahasiswa sangat
dibutuhkan tapi kenyataannya kebanyakan mahasiswa menutup mata dan telinga,
seakan-akan mereka tidak menyaksikan hal tersebut. Di tengah perasaan was-was,
rakyat tidak tahu di mana mereka bisa meminta pertolongan dan perlindungan.
Apakah mereka harus meminta pertolongan dan perlindungan dari pihak pemerintah?
Jawabannya tidak karena mereka tahu bahwa ada actor di balik layar dalam
permasalahan ini yakni pemerintah. Apakah mereka harus meminta pertolongan dan
perlindungan dari pihak aparatur Negara? Jawabannya tidak karena mereka tahu
bahwa dalam pelaksanaan reklamasi ini ada pihak yang mengawasi yakni mereka
yang memiliki pangkat. Lalu dimana rakyat harus meminta pertolongan dan
perlindungan? Jawabannya adalah Mahasiswa, tapi dimana mahasiswa di saat rakyat
membutuhkan mereka? Apakah mereka sedang mengerjakan tugas kuliah atau sedang
bercanda ria di mall?. Budaya
memikirkan diri sendiri dan acuh tak acuh terhadap rakyat yang sedang sangat
membutuhkan pertolongan mereka merupakan potret kehidupan mahasiswa di zaman
ini. Itu adalah perbuatan yang sangat menjijikkan, jiwa mereka telah terpasung
dalam dunia hedonisme dan apatisme.
Mahasiswa dalam pusaran hedonisme
adalah kalimat yang cocok untuk menggambarkan mahasiswa saat ini. Saya kembali
teringat dengan beberapa artikel yang pernah saya baca yang menyangkut
masyarakat ilmiah/manusia-manusia kampus/mahasiswa, dalam artikel tersebut
banyak dipaparkan mengenai etika dan shock
budaya baru mahasiswa, saya mencoba membaca halaman demi halaman dan saya
menemukan kata yang unik yakni Mahasiswa, sebuah kata “wah” bagian masyarakat kita, Indonesia. Sebagian
pemuda melihat hanya sebatas angan yang menggantung di tingginya langit biru
untuk ikut mengecap indahnya menjadi manusia kampus. Dan masih banyak orang tua
negeri ini hanya bisa mengusap dada karena merasa bersalah karena tidak mampu menjadikan
anaknya masuk dalam golongan kaum menengah (kuliah). Pertanyaannya sekarang,
apakah benar mahasiswa menjadi sesuatu yang “wah”, factor-faktor apa yang
membuat mahasiswa sebagai “barang” atau dunia mewah? Dan kemudian banyak pemuda
di negeri nusantara ini yang kemudian menginginkan sandang namanya sebagai
mahasiswa, serta mengapa orang tua sedikit banyak merasa “bersalah” sebab ketidakmampuan financial
menyekolahkan anaknya di perguruan tinggi?. Dalam hal ini kita bisa mengindikasikan bahwa ada sesuatu tersirat yang maha
dahsyat di balik sandangan kata mahasiswa!
Padahal
kalau mencermati, realita manusia kampus hari ini, sebenarnya tidak terlalu istimewa,
terlepas bahwa seorang soekarno dahulu pernah berkata “berikan aku sepuluh pemuda, maka aku akan menggoncangkan dunia”,
ataupun kembali ke sejarah atau semacam beromantisme ria, dimana pada tahun
1998, tepatnya 21 mei, Rezim Despotis Seoharto tumbang, karena terpacu oleh
desakan mahasiswa, atau kejadian “ironi” 1966, soekarno sebagai presiden pertama juga harus
meninggalkan singgasana
empuknya sebab
gerakan mahasiswa bersama partner politiknya (ABRI). Namun disini, keadaan
fakta sejarah yang telah disebutkan diatas, ternyata tidak serta merta membuat
seluruh mahasiswa harus bangga dengan gemilang jaya masa lalunya. Karena ketika
kita kembali pada realita dalam
konteks kekinian, spirit demikian (mengambil inisiasi
bergerak dalam melakukan sebuah perubahan, menumbangkan sebuah stagnasi sosial)
makin hari makin berkurang atau mungkin sudah hilang dalam benak semua
mahasiswa. Naudzubillah!
Semoga
tidak melakukan suatu simplikasi dari kompleksitas serta keunikan mahasiswa, saya sering mengatakan bahwa mahasiswa
hari ini tidak lebih dari korban-korban kebudayaan. Korban kebudayaan
baru yang sebenarnya pada awalnya asing bagi mereka, jeratan-jeratan Mesin
Idiologi Kapitalis dengan bentuk style-style kemudian sangat kuat menjerat
mahasiswa sebagai element pemuda. Sadar atau tidak, mahasiswa hari ini menjadi
“Silent Mayority “mayoritas yang diam atau didiamkan dengan buaian-buaian
mesin maha dahsyat tadi. Dapat diduga apa yang terjadi kemudian,
manusia-manusia kampus sangat lucu dalam statusnya sebagai kelas menengah pendorong perubahan, sebab dia
tidak lebih dari objek perubahan itu sendiri yang di setting oleh kalangan tertentu
yang tentunya untuk kepentingan mereka. Ketika kawan-kawan mahasiswa berjalan dalam keramaian
kampus, melihat dengan kacamata kritis maka akan menemukan potret-potret
manusia yang sedang sakit, mengalami shock budaya, mengalami inferioritas
memandang budayanya, dan melihat budaya yang sebenarnya mendominasi dan
menjajahnya sebagai budaya
yang patut ditiru dalam setiap lekuk langkahnya. Maka ketika melihat
mahasiswa= pemandangan potret manusia-manusia yang shock budaya
baru, manusia yang teralienasi dengan nilai-nilai leluhur dan lingkungannya.
Manusia yang berada dalam persimpangan jalan dalam pertarungan global; semua
kelompok/golongan saling memperebutkan dominasi dan pengaruhnya. Dengan
dominasi budaya barat yang sangat gencar, bersifat revolusioner, lewat
media-media, terutama media elektronik, lanjutan penindasan akan lebih vulgar
oleh kita yang kritis melihat fenomena social mahasiswa. Berkembangnya imperialisme dengan metode persuasif atau
hegemoni lewat model style,
pakaian, busana perempuan, kosmetik, dan lain-lain seperti yang telah
diuraikan pada paragraph ke-4 line ke-7, menuju suatu muara penyamaan
homogenitas dengan bahasa universalitas. Maka dalam benak mahasiswa kemudian sibuk dengan
konstruk-konstruk budaya yang ditebarkan oleh para pemodal/kapitalis. Sebagai
misal, konstruk pikiran kita akan melihat bahwa manusia/mahasiswa modern adalah
yang memakai celana “botol-botol”, baju ketat, warna mencolok, memirang rambut,
kelompok ini sebagai representasi mahasiswa modern yang layak hidup dan di contoh dalam peradaban manusia
kampus. Sebaliknya sebagai representasi tradisionalisme, mahasiswa yang
berpakaian jaman dulu, memakai kerudung besar, memakai kebaya, atau yang sering
disebut katrok, dan tidak layak hidup dalam peradaban manusia kampus. Sadar atau tidak
konstruk social seperti ini, adalah permainan para pemodal sedemikian rupa
sehingga terbentuk kelas-kelas social dalam masyarakat kampus.
Masyarakat ilmiah/manusia-manusia
kampus/mahasiswa harus menerapkan etika Teleologis
dan Universalisme dalam diri mereka,
yang dimaksud dengan etika Teleologis adalah
Suatu perbuatan (tindakan) hanya akan dinilai baik, apabila perbuatan
(tindakan) tersebut bertujuan untuk mencapai sesuatu yang baik, dan atau akibat
yang ditimbulkan oleh perbuatan itu baik, sedangkan etika Universalisme adalah Sesuatu dapat dinilai baik apabila dapat
memberikan kebaikan kepada orang banyak. Oleh karena itu, membela dan
memperjuangkan rakyat yang sedang menghadapi penindasan adalah tugas mahasiswa.
Problematika mahasiswa
hari ini tidak terlepas dari analogi Karl Marx yang mengatakan bahwa
“Menghasilkan barang-barang yang berguna dalam jumlah yang banyak akan
menghasilkan orang-orang yang tidak berguna.” Jika kita menginterpretasikan apa
yang dikatakan oleh tokoh Kapitalisme tersebut dan kita hubungkan dalam
kehidupan kampus maka kita bisa memperoleh kesimpulan bahwa dunia kampus hari
ini bagaikan dunia pasar yang mana para petinggi menggait calon mahasiswa
sebanyak-banyaknya mereka hanya memperhitungkan jumlah daripada kualitas. Hal
itu terbukti pada saat ini, kita bisa menyaksikan bahwa jumlah mahasiswa yang
ada di kota ini di atas rata-rata tapi pertanyaan yang muncul apakah jumlah
bisa menjamin sebuah kualitas.
Goresan ini saya persembahkan kepada
para mahasiswa yang lupa akan perannya sebagai masyarakat ilmiah yang beretika (agent of change, agent of social control,
and agent of moral force).
“Menulis, membaca, dan melawan adalah
Mahasiswa”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar